SEJAK

sisniwati
Chapter #5

Bab 5


FARA

 

Setelah kejadian itu keesokan paginya aku melihat kak Faiz berdiri seperti menunggu seseorang di depan gerbang sekolah. Kerena kejadian kemarin, aku yang awalnya tidak mempedulikan keberadaan kak Faiz sedikit demi sedikit mulai merasakan keberadaannya. Ketika aku mulai masuk gerbang dengan Baim, ia menatapku dan saat itu pandangan kami beradu. Ia tersenyum tipis ke arahku, tetapi sesegera mungkin aku mengalihkan pandangan. Aku hanya tidak ingin kegeer-an, mungkin dia tersenyum ke orang yang masuk berbarengan denganku dan bukan kepadaku, begitu pikirku saat itu.

Namun pemikiran itu salah. Ia ternyata memang tersenyum kepadaku dan sedang menungguku. Ia menghampiriku di kelas ketika jam istirahat pertama, entah dari mana ia mengetahui bahwa ini kelasku.

“Fara,” ucapnya yang terdengar berhati-hati.

“Ahhh.. iya kak,” dari sudut mataku, aku dapat melihat bahwa beberapa teman sekelasku yang masih berada di kelas waktu itu cukup kaget dengan kedatangan kak Faiz ke kelas kami, namun lebih kaget lagi ketika mereka mengetahui bahwa kak Faiz datang untuk menemuiku.

“Bisa bicara sebentar?” aku mengangguk dan berdiri mengikuti ke mana ia akan membawaku. Ketika berjalan di belakangnya aku dapat merasakan menjadi objek perhatian kebanyakan siswa saat itu, dan itu sangat tidak mengenakan. Berjalan di belakangnya saja seperti ini, bagaimana jika aku berjalan di sampingnya? Ketika aku sibuk dengan pemikiranku sendiri, tiba-tiba kak Faiz berhenti dan berbalik ke arahku.

“Kenapa jalannya di belakang Fa? Gak di samping?” sontak aku terkejut dengan pertanyaannya, ternyata ia menyadari akan hal itu.

“Kan katanya senior itu memang harus di dahulukan selangkah kak,” ia sepertinya kebingungan dengan jawabanku, kemudian aku menambahkan “Kan itu ada di bilang waktu MOS kak,” Kak Faiz tersenyum seperti mengerti maksudku.

“Gak gitu juga penerapannya Fa.”

“Satu lagi kak, berjalan di belakang kakak aja aku udah diliatin orang kayak gini, apalagi kalau sampai saya jalan di samping kakak” ucapku. Raut wajahnya seketika berubah menjadi datar, ia kemudian berbalik dan meneruskan langkah. Jika kamu bertanya mengapa aku dapat seberani itu untuk berbicara jujur, ya … karena aku gak mau berada dalam situasi canggung ini terus-terusan. Kemudian kak Faiz berhenti di taman dan menyuruhku duduk.

“Maaf membuat kamu gak nyaman Fa.”

“Santai aja kak, oh ya ada apa kak?”

“Kemarin kakak lupa nanya ini ke kamu,” ia kemudian mencari-cari sesuatu yang berada dalam saku celananya.

“Ini uang kamu Fa? Aku temuin kemarin di dekat kamu duduk,” ia menyodorkan selembar uang Rp.100.000 ribu. Pantas saja uang di sakuku berkurang, ku kira aku kelupaan atau sudah ku belanjakan, ternyata uang itu terjatuh.

“Wah… makasih ya kak, aku kira kemarin aku lupa bawa uang ternyata uangnya terjatuh” ucapku seraya mengambil uang tersebut dari tangannya. Namun segera ia menjauhkan uang tersebut dari tanganku.

“Eeeitts, nanti dulu. Coba kasih bukti kalo ini beneran uang kamu.”

“Kan tadi kakak bilang uang itu jatuh di dekat aku duduk.”

“Ya… mana tahu ini uang orang lain,” aku terdiam sebentar, lalu teringat bahwa aku hafal no seri uang itu.

“Aku hafal nomor serinya kak,” kataku sambil berusaha mengingat nomor seri uang tersebut “HJR589152 bukan kak?” segera kak Faiz melihat nomor seri uang tersebut dan ku dapati ekspresi kak Faiz yang heran, dengan begitu aku dapat berasumsi bahwa jawabanku benar.

“Kok bisa?”

“Kok bisa apanya kak?”

“Iya, kamu kok bisa hafal?” aku hanya tersenyum puas dan mengambil uang tersebut dari tangan kak Faiz, meninggalkan ia yang masih bertanya-tanya akan nomor seri itu. Sebenarnya sejak dulu tanpa ku sadari aku dapat mengingat nomor seri uang yang ada di tanganku. Setiap uang yang ku punya, aku selalu melihat nomor serinya yang sebagian besar orang tidak akan melakukan hal tersebut. Tomi sering sekali menyuruhku untuk menghentikan kebiasaan itu, ia bilang cukup liat nominal uangnya aja, gak perlu liat nomor serinya karena itu buang-buang waktu dan gak berguna. Tapi hari ini aku dapat membantah ucapannya karena ternyata kebiasaan ku itu ada gunanya. Bel pun berbunyi, aku kemudian berlalu meninggalkan kak Faiz di taman sendirian.

 

TOMI

 

Aku dan tim basketku sedang melakukan sesi latihan untuk menghadapi pertandingan tingkat nasional. Sore itu kak Faiz datang ke tempat latihan ku dan membawakan minuman untukku. Jika di tanya apakah aku dekat dengannya, maka aku akan menjawab aku tak begitu dekat dengannya. Kami hanya beberapa kali mengobrol secara kebetulan di lapangan basket dan tidak pernah untuk melakukan pertemuan secara intim. Namun sore itu aku sudah merasakan hal yang sedikit janggal ketika ia membawakan minuman untukku.

“Wah… wah… ada apa nih kak? Kok bawa minuman segala.”

“Kamu gak mau? Yaudah aku kasih ke yang lain aja kalo gitu.”

“Eiiiits, siapa bilang aku gak mau,” ucapku seraya mengambil minuman dari tangannya. “Biasanya nih, biasanya ya, kalo seseorang berbuat baik itu ada maunya kak.”

Lihat selengkapnya