FARA
“Fara….” aku menengok ke sumber suara itu dan ku temukan Kak Faiz ada di sana. “Kamu mau beli cat lukis ya?” aku mengangguk lembut padanya. Tak kusangka aku dapat bertemu di toko ini dengannya. Ia menggunakan hoodie berwarna army dan celana jeans warna biru langit, Ia kemudian bertanya tentang hobi melukisku dengan semangat. Dari pembicaraan ini aku dapat menyimpulkan bahwa kak Faiz sedikit banyaknya juga mengetahui dunia lukis. Kak Faiz membeli beberapa buku untuk persiapan UN yang akan dilaksanakan kurang lebih enam bulan lagi. Setelah pembayaran kami mampir di sebuah cafe yang berada tepat diseberang jalan. Ia mempersilahkan aku duduk, dan kemudian ia memesan minuman tanpa meminta pendapatku terlebih dahulu.
“Kak pesan apa? Kok gak nanya ke aku duluan?”
“Aku pesan dua lemon tea panas, aku sengaja gak tanya ke kamu karena aku yakin kamu pasti akan pesen minuman yang dingin-dingin,” di dalam hati aku berbisik kok kak Faiz bisa tau aku mau pesan yang dingin-dingin sih? Cenayang ya dia? Kemudian ia melanjutkan “Kamu itu udah ada gejala flu, tuh liat udah bersin-bersin dari tadi, gak baik minum yang dingin-dingin.”
“Iihh.. flu apaan coba kak? Hidung aku tu sensitif aja sama perubahan cuaca” ia mendekatkan wajahnya kepadaku, sehingga aku dengan jelas dapat melihat warna matanya yang cokelat mengkilap.
“Jangan cari alasan deh, tuh liat hidung kamu udah mulai ngeluarin ingus,” ia kemudian mencari sesuatu di dalam saku bajunya, dan menyerahkannya padaku. “Ini dipake aja, kebetulan aku gak bawa tisu,” Kak Faiz menyerahkan sapu tangannya padaku. Sapu tangan tersebut berwarna dongker dengan motif batik berwarna kuning dan merah dipinggirnya. Sekilas aku mencium bau harum yang berasal dari sapu tangan itu. Ini gak dikasih bius sama kak Faiz kan ya? Kan gak lucu kalo aku tiba-tiba pingsan disini dan semua barangku hilang. Aah gak mungkin dong, masak kak Faiz mainnya begituan, eee … tapi … pertanyaan-pertanyaan itu masih berputar dikepalaku, aku memutuskan untuk menolak sapu tangan itu.
“Gak usah kak, sayang loh sapu tangan sebagus ini jadi lap ingus ku,” ia tiba-tiba berdiri dari tempat duduknya dan langsung mengelapkan sapu tangan itu ke hidungku. Aku kaget, benar-benar kaget dengan tindakan Kak Faiz.
“Udah jangan nolak, tuh ingus kamu mau keluar,” ia mengambil tanganku dan menyuruh aku sendiri yang mengelapnya. Sial, ingus!!! kenapa kamu gak bisa diajak kerjasama sih. “Jangan diliatin, aku malu, putar badan kakak gih,” ia menuruti permintaan ku. “Kakak memang gak ilfil?”
“Kenapa ilfil? Kan semua orang kalau flu punya ingus juga,” aku hanya dapat terdiam mendengar ucapan kak Faiz. Di satu sisi aku sangat malu dengan kondisi ingusku yang mengalir tanpa henti, seperti tubuhku menolak untukku berlama-lama dengan kak Faiz, namun entah mengapa ada perasaan hangat di dalam hatiku saat bersamanya. Tidak lama setelah itu pelayannya datang membawa minuman.
“Wah… Iz, lo jarang bawa temen kesini, sekalinya kesini malah bawa pacar.”
“Belum jadi pacar Yu, masih otw nih,” ucapnya seraya melirik ke arahku. Aku akui aku tersipu malu sesaat dengan perkataan yang keluar dari Kak Faiz. Namun aku mencoba setenang mungkin agar tidak mengeluarkan ekspresi yang berlebihan.
“Oooh… kirain, gue doain langgeng deh,” kemudian pelayan tersebut berbisik di sampingku “Faiz baik kok dek, serius loh gak boong. Cuma sayang udah kelamaan jomblo aja,” Faiz yang melihat tindakan pelayan itu segera mengusirnya agar tak mengangguku. Aku hanya tersenyum melihat tindakan mereka.
“Sepertinya kakak deket sama pelayan tadi”
“Itu Wahyu Fa temanku, oh ya aku di sini kerja sampingan jadi barista”
“Kakak kerja sampingan?” sungguh mengetahui hal ini membuat aku terkejut. Aku tak pernah menyangka bahwa seorang mantan ketua osis seperti Kak Faiz yang dapat dikatakan memiliki kehidupan yang sempurna karena wajah, prestasi, dan kekayaan orangtua yang jauh diatas rata-rata, mau mengambil kerja sampingan.
“Iya Fa, lumayan uangnya dan juga bisa nambah pengalaman,” ia lalu menunduk dan menganduk-aduk minuman “Kamu orang pertama yang aku ajak kemari Fa,” aku diam, tak tau apa yang harus aku katakan untuk menanyakan kenapa aku orang yang pertama? Tiba-tiba saja mulutku membeku dan susah untuk digerakkan. Kemudian ia menatapku dan tersenyum.
“Ngapain sih aku bilang kayak gitu, kan suasananya jadi cangung ya Fa?” aku hanya mengangguk mengiyakan.
“Yaudah yang tadi, jangan terlalu dipikirin Fa. Kita coba jalani aja dulu,” sebelum aku sempat menanyakan apa maksud dari perkataannya itu, Kak Faiz sudah berdiri menghampiri Wahyu dan membicarakan sesuatu, meninggalkan aku dengan pertanyaan-pertanyaan yang mebutuhkan jawaban dikepala. Tak lama kak Faiz kembali dengan membawa sebuah payung berwarna Hitam di tangan kanannya.