FARA
Kian hari aku semakin dekat dengan kak Faiz. Aku meminta nomornya waktu itu. Meskipun begitu, aku belum pernah diajak jalan olehnya. Di sekolah pun kami jarang bertemu karena aku yang minta. Oleh karena itu sampai saat ini pun aku belum bisa mengembalikkan hoodienya. Aku terlalu segan untuk diliat banyak mata ketika jalan dengannya, ditambah lagi ketika mereka mulai berbisik, itu sangat mengganggu ku. Lalu mata Elin kaget ketika aku ceritakan kedekatanku dengan kak Faiz, ia tidak pernah menyangka cewek biasa sepertiku bisa dekat dengan mantan ketua osis itu.
“Hebat ya kamu Fa, bisa deket sama kak Faiz tanpa perlu caper atau pun tepe dulu.”
“Apaan lagi tuh caper sama tepe?”
“Caper itu artinya cari perhatian, sedangkan tepe itu artinya tebar pesona Fa. Lah gimana si Fa, itu aja gak tau,” ucapnya seraya mencubit pipiku.
“Ya kan kamu tau aku kurang tau hal yang begituan”
Tiba-tiba raut wajah Elin berubah drastis. Ia tiba-tiba terdiam dan kemudian menepuk-nepuk pundakku. “Fa…. fa… kamu tau gak?”
“Tau apaan?” ucapku bertanya dengan serius kepadanya.
“Kamu tau adiknya kak Faiz siapa?”
“Enggak, siapa emangnya? Emang dia punya adik?”
“Dara fa” Kata yang dikeluarkan Elin membuatku terdiam sebentar, nama Dara sangat sensitif bagiku. Karena Dara yang ku kenal meninggalkan kenangan yang buruk dan sulit untuk ku lupakan.
“Bukan Dara yang itu kan Lin?” tanyaku dengan was-was.
“Iya Dara yang itu Fa”
“Dara Dwi Alamsyah?” Elin mengangguk pelan. “Kamu gak curiga gitu nama belakang mereka sama?” Tidak pernah terpikirkan olehku bahwa Faiz dan Dara kakak-adik. Dara merupakan salah satu orang yang menganggap aku musuhnya. Kami pernah sama-sama ikut lomba melukis dan aku yang memenangi lomba tersebut. Sejak saat itu, ia menganggap aku musuh yang harus di musnahkan di muka bumi ini. Ketika aku ingin menyapanya, ia selalu membuang muka dan memperlihatkan terang-terangan ketidaksukannya padaku. Sial..!!! dari sekian banyak orang yang bernama Dara kenapa harus Dara yang itu. Pantas saja Kak Faiz waktu itu sangat familiar dengan cat lukis.
“Nah lo, jadi gimana? Masih mau deket sama Kak Faiz?”
“Hmmm, entahlah Lin. Aku pikir-pikir dulu, aku takut kak Faiz mendekatiku karena sesuatu.”
Keesokan harinya aku berniat untuk mengembalikan hoodie Kak Faiz. Sejak aku mengetahui bahwa Dara adalah adiknya Kak Faiz, aku tidak bisa tidak berburuk sangka. Pemikiran negatif mengenai Kak Faiz telah memenuhi otak ku. Dia memintaku untuk bertemu dengannya di depan kafe yang waktu itu, namun aku menolak. Aku memintanya untuk bertemu di depan toko buku saja. Aku takut jika kita tetap bertemu di kafe, pertengkaran yang mungkin saja terjadi antara aku dengannya diketahui juga oleh teman-temannya, dan aku tidak mau itu.
Kak Faiz datang dan menyapaku dengan bibir melengkung ke atas, sekilas terlihat gigi putihnya berbaris rapi.
“Udah lama nunggu ya Fa? Maaf ya, soalnya tadi aku harus nganterin adikku les dulu.”
“Siapa?Dara?” ia terlihat terkejut ketika aku menyebut nama itu.
“Kamu kenal sama Dara?”
“Aku juga mau nanya itu sama Kak Faiz,” ia terdiam menunggu aku melanjutkan pembicaraan.