FARA
Ada kelegaan luar biasa yang ada di dalam diriku, seperti tali yang mengikat diriku selama ini perlahan-lahan mulai longgar. Setelah menceritakan semua yang aku rasakan, aku pamit pulang karena jam telah menunjukkan pukul 10 malam. Malam itu kami tutup dengan membahas perkembangan Maya dan Baim. Maya yang tak gentar dan Baim yang sepertinya mulai sedikit luluh namun tetap gengsi untuk mengakuinya. Tomi dan Baim memberiku nasihat untuk bagaimanapun kondisiku, aku harus tetap peduli kepada Farhan karena cuma aku satu satunya orang yang dia punya. Selain itu, untuk masalah Kak Faiz, mereka memintaku untuk menjaga jarak untuk saat ini. Mereka takut Kak Faiz mendekatiku karena ada maksud tertentu. Sebelum tidur aku mencoba melihat handphone yang belum sempat ku sentuh sejak sore tadi. Kudapati banyak pesan masuk dari Kak Faiz, di salah satu pesan ia mengatakan bahwa ia tidak tau kalau Dara menganggap aku musuhnya dan ia tidak punya maksud jahat untuk mendekatiku. Ia mengatakan pertama kalinya bertemu denganku adalah saat pertandingan basket Tomi kala itu.
Keesokan paginya di sekolah aku kembali melihat Kak Faiz berdiri di gerbang sekolah. Mata kami saling bertemu dan ia tersenyum kearah ku seperti biasanya, namun aku berusaha menghindari tatapan dan senyumannya itu. Aku takut menaruh hati lebih dalam lagi kepadanya yang membuatku akhirnya kecewa. Ia mengirimiku pesan meminta agar aku mau bertemu dengannya, katanya ia ingin mengembalikan jaket yang waktu itu aku pinjamkan. Ia meminta untuk bertemu di taman sekolah, namun aku tak datang kesana dan mengabaikan pesan itu. Bukan perkara mudah untukku mengabaikan pesannya, namun kali ini aku harus menahan diri. Aku tak ingin hubungan ini berjalan lebih jauh lagi.
Seperti biasa, seusai jam pelajaran berakhir aku akan menunggu Baim di parkiran sekolah. Namun tiba-tiba saja ketika aku menuju parkiran seseorang menarik tanganku, dan membawaku ke lorong sekolah yang cukup sepi. Dari postur tubuhnya yang terlihat olehku jelas dia adalah Kak Faiz. Ia kemudian berhenti dan melepaskan tanganku.
“Apaan sih kak.”
“Maaf Fa, kalo gak gini caranya kamu gak bakal mau nemuin aku,” ia menundukkan pandangannya beberapa saat, lalu menatapku dengan serius.
“Fa, aku gak tau gimana hubungan kamu dengan Dara sebelumnya. Aku deketin kamu karena aku suka sama kamu bukan karena ada hal lainnya,” aku terkejut mendengar ucapan Kak Faiz yang menyatakan perasaaanya kepadaku. Entah kenapa ketika melihat matanya aku tau jika ia berbicara dengan jujur, namun aku masih perlu memastikan semuanya.
“Gimana caranya aku bisa percaya sama ucapan Kak Faiz?”
“Fa, kalo kamu punya bukti aku deketin kamu karena maksud jahat atau karena ada sesuatu yang aku rencanain dengan Dara, kamu boleh benci aku, kamu boleh tampar aku, dan aku gak akan deketin kamu lagi Fa. Aku janji akan menjauhi kamu. Tapi selama tuduhan kamu ke aku belum terbukti, kamu gak bisa ngelarang aku buat deketin kamu Fa,” aku terdiam tak tahu harus merespon apa. Handphone ku berdering yang rupanya panggilan dari Baim yang sudah menungguku di parkiran. Aku pamit ke Kak Faiz untuk pulang. Namun sebelum itu ia memberikan totebag yang berisikan jaketku.
Sesampainya di rumah aku membuka isi totebag tersebut. Ternyata di dalamnya tidak hanya jaket, namun juga ada buku sketchbook yang tiap lembarnya berisi sketsa ku. Tanpa sadar aku telah tersenyum melihat sketsa itu. Dari sini aku baru mengetahui bahwa Kak Faiz memperhatikan gerak gerikku di sekolah. Sketsa itu tampak sempurna dengan goresan halus yang ia berikan. Di halaman paling belakang ia menuliskan Thankyou for making my life colorful.
Beberapa hari kemudian Kak Faiz mengajakku jalan. Kami pergi ke sebuah museum yang sudah cukup tua namun tetap terawat dengan baik. Kemudian kami pergi ke stasiun, bukan.. bukan untuk naik kereta api, aku sendiri tak tahu kenapa kami harus kesini. Kami hanya duduk memperhatikan setiap penumpang yang datang dan pergi. Ini bukanlah cara pendekatan yang aku pikirkan. Bukankah harusnya kami nonton film? Nonton konser? Makan? Pergi ke pantai atau taman hiburan? Seperti orang pendekatan ataupun pasangan pada umumnya. Tapi Kak Faiz malah membawaku kesini. Kak Faiz datang dengan beberapa cemilan dan minuman.
“Kenapa kita kesini kak?”
“Aku mau ngasih kamu sesuatu.”
“Apaan kak?”
“Kenangan,” aku terdiam dan mengerutkan kening pertanda aku tak mengerti maksudnya barusan.