FARA
Akhirnya aku pacaran dengan Faiz. Kami sudah berpacaran selama dua hari, ya masih tergolong baru. Faiz merupakan seniorku di sekolah dan cukup populer karena dia salah satu anak basket dan mantan ketua osis. Aku gak tau kenapa dia memilihku sebagai pacarnya. Yang umum terjadi di sekolahku anak populer akan pacaran dengan anak populer juga. Sedangkan aku? Jangan tanya, tidak ada seluk beluk yang membuat aku populer. Setelah melakukan pendekatan beberapa lama, akhirnya aku menerimanya menjadi pacarku. Klasik banget kalo aku bilang dia baik, tapi kenyataannya emang gitu. Posesif juga iya. Tapi ada satu hal yang membuat aku yakin setelah penantiannya itu. Dia unik dengan perhatian yang sederhana namun dapat meluluhkan hatiku. Mungkin kamu akan bertanya-tanya perhatian seperti apa yang Faiz berikan itu, oke aku akan menjawabnya. Sederhana saja, sesederhana menyiapkan pijakan kaki ketika aku akan diboncengnya lalu ia akan mengedepankan tas agar aku dapat duduk dengan nyaman. Sesederhana membersihkan kursi yang kotor ketika aku akan mendudukinya. Sesederhana berbagi earphone diatas motor. Sesederhana mengambilkan minuman ketika kami makan. Sesederhana membuka tutup botol ketika aku haus. Sesederhana mendengarkan keluh kesahku tanpa perlu membanding-bandingkan dengan dirinya. Dan masih banyak lagi kesederhanaan yang ia lakukan namun sering dilupakan oleh laki-laki lain karena terlalu sederhana. Semua ia lakukan tanpa pernah ada satupun yang aku minta.
Baim adalah orang yang paling depan menolak hubunganku dengan Faiz. Alasannya karena Faiz adalah kakak kandung dari Dara yang menjadikan aku musuhnya. Jujur aku tak pernah menganggap Dara musuhku. Awalnya aku sempat curiga ketika Faiz mendekatiku, aku mulai menerka-nerka apa yang mereka rencanakan. Namun ketika waktu berlalu semua prasangka ku pun hilang. Tak mungkin rasanya orang sebaik Faiz berbuat demikian, buang-buang waktu. Dari pada itu lebih baik ia memikirkan masa depannya toh sebentar lagi masa SMA-nya akan berakhir.
Pada suatu malam, Faiz datang kerumah ku dengan motor vespa kesayangannya. Sebenarnya aku berusaha menolak namun ia bersikeras untuk datang dan berjanji hanya sebentar. Ia mengenakan hodie dan celana jeans berwarna hitam yang sangat kontras dengan warna kulitnya, serta sepatu convers berwarna merah yang terawat meskipun sudah sering digunakan. Aku mempersilahkannya untuk duduk di teras. Ia memberikan ku sebuah kotak yang berukuran sedang yang dibalut dengan kertas warna hitam dan pita warna merah.
“Ini apa?”
“Hadiah,” jawabnya dengan senyuman yang menyebalkan bagiku.
“Hadiah? Aku sedang tidak berulang tahun iz,” ucapku seraya mengembalikan kotak tersebut.
“Salah kalo aku ngasih hadiah ketika kamu sedang tidak berulang tahun?” aku terdiam sebentar mendengar ucapannya, dia benar namun aku segan untuk menerima pemberian dari orang kecuali Tomi dan Baim. Meskipun saat ini dia telah menjadi pacarku.
“Gak salah sih, cuma...”
“Fa gak baik loh nolak pemberian orang,” ucapnya tenang. Salah memang memulai debat dengannya, sudah pasti ia akan menang. Akhirnya akupun menerima hadiahnya agar ia cepat pulang.
“Aku pamit pulang dulu Fa.”
“Ya.”
“Orangtua kamu mana?”
“Ada di dalam, kenapa?”
“Boleh aku pamit dengannya?”
“Sebentar,” gelisah menyelimuti pikiranku seketika, ini kali pertama laki-laki lain bertemu dengan orangtuaku selain Tomi dan Baim. Aku menemui ibu di ruang tamu, dan menjelaskan padanya apa yang terjadi. Ia bergegas keluar menghampiri Faiz, dan Faiz langsung mencium tangannya.
“Bu, saya pamit pulang dulu.”
“Loh udah mau pulang? Kan kita belum sempat kenalan, gak makan dulu di dalam nak? Kebetulan ibu hari ini masak kepiting kesukaan Fara,” respon ibu membuat jantungku berdetak cepat, aku menyuruh Faiz pergi dengan gerakan mata.
“Saya Faiz bu se SMA dengan Fara, kapan-kapan saya kesini lagi, udah malam gak enak juga sama tetangga bu.”
“Yaudah tunggu sebentar ibu bungkusin dulu.”
“Gak usah bu,” ucapku
“Gak papa kok, tunggu sebentar ya nak Faiz,” ibu melangkah ke dalam meninggalkan aku dan Faiz yang mulai canggung. Untungnya tak lama ibu datang dan Faiz pun pulang. “Siapa itu kak? Pacar kamu ya?” tanya ibu seraya mencubit pipiku. “Apaan sih bu… itu temen kakak,” jawabku dengan gugup.