FARA
Aku dan Tomi berhasil sampai ke mobil dengan selamat. Kemudian Tomi membuka kertas yang diberikan Baim beberapa waktu yang lalu. Disana tertulis alamat rumah Wahyu dan sebuah pesan agar menanyakan langsung kepada Wahyu apa yang sebenarnya terjadi tiga malam yang lalu.
“Fa, kamu tahu alamat ini?”
“Rasanya aku pernah dengar Tom, bentar aku cek google maps dulu,” dengan tergesa-gesa ku ketik alamat tersebut di handphone. Seketika aku menjadi pengarah jalan dengan nafas yang masih belum stabil. Sepanjang perjalanan Tomi menceritakan bagaimana Baim memintanya untuk datang. Sama sepertiku, ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.
“Wahyu itu siapa sih Fa? Kayaknya dia menjadi kunci dari masalah ini deh,”ucap Tomi.
“Aku cuma tahu satu Wahyu di SMA Adikusuma Tom, orangnya kurus ceking, pendek, dan anaknya pendiam. Gak mungkin wahyu yang itu deh, mungkin Wahyu yang lain yang enggak aku kenal.”
Kami berhenti didepan sebuah gang. Karena mobil tidak bisa masuk, kami memutuskan untuk berjalan kaki menuju alamat tersebut. Sesekali kami bertanya kepada warga yang kami temui bertanya apakah alamat yang kami tuju ini benar. Petunjuk-petunjuk dari warga tersebut menghantarkan kami ke sebuah rumah dari kayu yang lebarnya berukuran empat meter. Di depannya duduk seorang anak yang kira-kira setinggi ku sedang menjahit sepatu. Aku dan Tomi saling berpandangan yang memunculkan keraguan. Namun Tomi memberanikan diri menyapa anak tersebut dan bertanya apakah ini alamat yang benar kami tuju. Aku terkejut melihat Wahyu yang aku tahu ada di sana. Ya, dia adalah anak yang sedang menjahit sepatu tersebut.
Dia keheranan melihat kedatangan kami. Ia lantas berjalan pergi, namun aku berusaha menahannya untuk tetap tinggal. Aku menanyakan apa yang terjadi tiga hari yang lalu, namun Wahyu hanya diam tak ada niat untuk mengeluarkan suara sedikit pun.
“Lu diem gini gak ada gunanya. Temen-temen dan guru lu di sekolah dalam bahaya, tau gak?”kata Tomi dengan nada yang terdengar kesal.
“Yu, kalo kamu gak cerita sama kita sekarang, kita gak bisa nolong apa-apa. Kamu tau gak sih, sebenarnya masalah itu butuh penyelesaian bukan pelarian. Kamu gak capek Yu? Gak ngerasa terbebani apa?”sebentar ia memandang ke arahku, lalu ia menundukkan kepala lagi. Dari gerak geriknya aku tahu ada sesuatu yang menganggunya mengenai ucapanku. Mungkin ia mulai tersadar dan mau cerita, namun sedang mempertimbangkan apa yang akan ia ceritakan kepada kami.
“Kita janji gak bakal ngehakimin kamu secara langsung,”ucapku dengan lembut kepadanya.
“Oke, gue akan ceritain semuanya. Tapi janji jangan ngehakimin gue,” aku dan Tomi mengangguk perlahan. Kemudian Wahyu memulai ceritanya, tiga malam yang lalu ibunya demam tinggi dan di larikan ke UGD. Kata perawat disana ibunya menderita DBD yang mana harus segera dirawat inap. Namun karena terkendala biaya, ibu Wahyu bersikeras untuk pulang saja dan meminta diberi resep obat. Wahyu menolak permintaan tersebut dan menyuruh ibunya untuk menunggunya di UGD. Ia teringat akan balap liar yang diadakan sekali dalam seminggu, dan tepat dilaksanakan pada malam itu. Tanpa pikir panjang ia meminjam motor tetangga di dekat rumahnya dan pergi ke tempat balap motor tersebut. Uang yang di dapat pemenang balap motor di sana lumayan banyak. Wahyu belum pernah ke sana, dan hanya mendengar rumor tentang balap liar ini. Ketika sampai disana ia melihat banyak anak SMA lain, salah satunya SMA Tri Harapan. Wahyu membayar uang untuk berpartisipasi dalam balap motor itu sebesar Rp. 50.000. Sama seperti pertandingan bola, balapan ini ada babak penyisihannya juga sampai mendapatkan satu pemenang. Pada balap pertama Wahyu menang, dan balap selanjutnya pun demikian hingga ia masuk ke babak final. Pada babak final, Wahyu berhadapan dengan Surya dari SMA Tri Harapan. Wahyu sadar ia tidak bisa mengalahkan Surya yang memiliki motor bagus, ia pun berbuat curang dengan sengaja mendorong motor Surya hingga jatuh. Ia tak sempat memikirkan akibat dari perbuatannya, yang ada dalam pikirannya saat itu adalah bagaimana cara mendapatkan uang agar ibunya bisa dirawat.