FARA
Aku melepas Tomi pergi menyusul Baim meskipun hati kecilku ingin sekali ikut bersamanya. Setelah melakukan kontrol rutin yang entah sudah berapa kali, akhirnya hari ini dokter memperbolehkanku untuk melakukan kontrol sekali dalam satu bulan. Sekitar jam satu siang aku menunggu kabar dari Tomi, namun sudah hampir jam 3 ia tak kunjung mengabariku. Tepat pada jam 5 sore, ia mengirimiku pesan memberitahu bahwa ia akan kembali dari Padang dan akan sampai di Bandung sekitar jam 8 malam. Ia tak memberiku informasi lainnya, apakah ia berhasil ketemu dengan Baim atau tidak aku tak tahu. Aku sudah mencoba menghubunginya namun sepertinya ia mematikan ponselnya. Aku dan mama memutuskan untuk menjemputnya di bandara. Setelah cukup lama menunggu aku melihatnya dari kejauhan, ia berjalan lunglai ke arah kami.
“Gimana Tom? Kamu ketemu sama Baim?” ia kemudian menggeleng dengan lemah. Mama kemudian mengenggam erat tangan Tomi. “Kamu gak papa nak?” Tomi tidak menjawab pertanyaan mama, ia kemudian mengambil sesuatu dari kantong jaketnya dan menyerahkannya padaku. Sebuah kertas berwarna biru, aku segera membacanya dengan hati-hati.
Teruntuk Fara.
Fara, maaf aku tidak bisa menjagamu dengan baik. Maaf karena aku belum bisa menjadi sahabat yang pantas untukmu. Sekali lagi aku minta maaf atas apa yang terjadi padamu, sungguh itu sesuatu yang sangat aku sesali hingga aku tak mampu untuk bertemu maupun berbicara langsung denganmu. Aku sama sekali tak membencimu, aku hanya membenci diriku sendiri yang terlalu egois ingin membantu semua orang hingga membuatmu terluka. Harusnya aku mendengarkanmu, harusnya aku mengantarmu pulang, harusnya aku yang ada disana bukan Kak Faiz. I need time to reflection on my mistakes. Aku akan menemuimu dan Tomi ketika waktunya tepat. Fara aku pamit, semoga kamu cepat sembuh.
Baim kenapa kamu kayak gini? Kenapa harus pergi jauh? Ini semua bukan salah kamu, jangan nyalahin diri kamu sendiri. Mama yang bisa menebak isi surat itu langsung memelukku dengan erat, lalu ia berbisisik dengan lembut, “Baim pasti punya alasan sendiri nak. Percaya sama mama, suatu saat nanti kalian pasti akan bertemu kembali. Udah ya nangisnya.”
Setelah itu Tomi menceritakan bagaimana kopernya yang tertukar membuatnya terlambat datang ke rumah paman, andai saja kopernya tidak tertukar mungkin ia bisa bertemu dengan Baim dan mencegah Baim ke Jerman.
TOMI
Aku berusaha untuk mengejar taxinya Baim, namun karena kemacetan yang terjadi jarak antara aku dan Baim semakin lebar. Ketika aku sampai di Bandara aku berusaha menemukan Baim, berkali-kali aku melewati sudut yang sama, namun aku tak menemukan Baim dimana pun. Bodohnya aku lupa menanyakan kepada paman mengenai penerbangan Baim terkait transit nya. Aku menyerah mengejar Baim, aku duduk dan membuka surat yang diberikan paman. Setelah satu jam berlalu pihak bandara menghubungiku terkait dengan koperku yang tertukar, mereka bilang bahwa koperku sudah di kembalikan. Aku bergegas kesana dan menemukan bahwa Maya bersama dengan koperku.
“Maya?” tanyaku heran padanya, kenapa dia bisa ada disini?
“Tom, ini koper kamu?”