Sejarah Islam yang Hilang

Bentang Pustaka
Chapter #2

Dua - KEHIDUPAN SANG NABI

Nabi Muhammad lahir di Kota Mekah pada sekitar 570 Masehi. Ia berasal dari klan Bani Hashim, bagian suku Quraisy yang mengendalikan Mekah—pusat perdagangan dan agama di jantung Semenanjung Arab. Terletak sekitar 80 kilometer dari Laut Merah, Kota Mekah mendapat keuntungan berkat rute perdagangan utara-selatan yang menghubungkan Romawi di utara dan Yaman di selatan. Meski demikian, Mekah jauh terlepas dari kedua tempat tersebut.

Ratusan kilometer padang pasir yang mengelilinginya memungkinkan Kota Mekah berkembang bebas dari pengaruh atau kendali asing. Pada saat yang sama, Mekah terhubung dan terisolasi secara internasional. Ketika berurusan dengan agama, Mekah menjadi titik pusat Semenanjung Arab. Mekah menjadi lokasi Kakbah dan haji tahunan yang menarik bangsa Arab dari seluruh penjuru Semenanjung Arab.

Jadi, meskipun cukup jauh dari jangkauan Kekaisaran Byzantium atau Persia, Mekah sudah cukup tepat sebagai pusat yang memberikan dampak besar bagi orang-orang Arab. Kedua karakteristik inilah yang akan memainkan peran utama saat Islam mulai menyebar.

Awal Kehidupan

Kehidupan awal Muhammad ditandai dengan kesulitan dan kehilangan. Ayahnya, Abdullah, wafat sebelum ia lahir. Saat itu Abdullah sedang melakukan perjalanan dagang ke Kota Yasrib, di sebelah utara Mekah. Ibunya, Aminah, wafat saat ia berusia enam tahun. Kakeknya yang dihormati, Abdul Muttalib, kemudian merawatnya. Dua tahun kemudian, kakeknya wafat dan Muhammad tinggal dengan paman dari pihak ayah, Abu Thalib.

Meskipun berasal dari suku Quraisy yang kaya, Muhammad tidak tumbuh bergelimang harta. Statusnya sebagai anak yatim piatu dan berasal dari klan Bani Hashim—yang dianggap anggota Quraisy rendahan—membuatnya tidak tergolong dalam kelas penguasa. Tetapi, ia menemani pamannya dalam perjalanan perdagangan ke Suriah saat kecil, “memperkenalkannya” ke dalam tradisi nomaden Arab yang lampau.

Reputasinya sebagai pedagang yang jujur menyebabkan dia mendapatkan dua nama julukan: as-Sadiq dan al-Amin, yang berarti ‘yang benar’ dan ‘dapat dipercaya’. Ia pun kemudian dihormati orang-orang Quraisy. Secara teratur ia dipercaya memegang uang dan transaksi perdagangan ketika bertindak sebagai penengah dalam banyak kasus. Menjelang usia dua puluh tahun, Muhammad sudah menjadi pedagang sukses dan bekerja sebagai agen usaha seorang janda kaya bernama Khadijah.

Lama-kelamaan, reputasinya sebagai orang yang jujur dan dapat diandalkan menarik perhatian majikannya itu. Saat Muhammad berusia dua puluh lima tahun, Khadijah melamarnya dan diterima meskipun umurnya terpaut jauh.

Walau dikelilingi masyarakat penyembah patung yang politeistis, Muhammad muda tak mengikuti agama orang-orang Quraisy. Pesan monoteisme Ibrahim dan Ismail hanya samar-samar diingat kebanyakan orang Arab, tetapi masih dipertahankan beberapa orang yang dikenal sebagai hunafa (tunggal: hanif), yang berarti ‘penganut monoteis’.

Orang-orang ini menolak menerima ratusan tuhan-tuhan kayu dan batu. Muhammad salah satunya. Alih-alih terlibat dalam penyembahan patung yang begitu merajalela di masyarakatnya, Muhammad memilih menyepi. Ia membiasakan diri menyepi di sebuah gua di atas gunung yang berjarak sekitar lima kilometer dari pusat Kota Mekah. Di sana, ia duduk dalam keheningan dan merenungkan masyarakat serta agama yang berkembang di Mekah.

Wahyu Pertama

Menurut tradisi Islam, pada 610 Masehi, saat berdiam di gua yang telah didatanginya berkali-kali, Muhammad mengalami sesuatu yang baru. Malaikat tiba-tiba muncul di depannya dan memerintahkan, “Bacalah!” Ia menjawab bahwa ia tak bisa membaca. Seperti kebanyakan orang di Mekah, Muhammad pun buta huruf.

Sekali lagi, malaikat memerintahkannya untuk membaca. Muhammad menjawab bahwa ia tak bisa. Untuk kali ketiga, malaikat memerintahkan agar ia membaca dan untuk kali ketiga, Muhammad menjawab bahwa ia tak bisa. Kemudian, malaikat membacakan kepadanya ayat-ayat Quran yang pertama diturunkan:

Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan.

Ia menciptakan manusia dari segumpal darah.

Bacalah; atas nama Tuhan.

Dialah yang telah mengajarkan dengan pena.

Mengajari manusia yang tidak ia ketahui.

(Al-‘Alaq [96]: 1–5)

Muhammad mengulangi kata-kata tersebut di hadapan malaikat, yang kemudian memberitahukan bahwa ia Jibril, malaikat yang diutus Tuhan Yang Esa dan Muhammad adalah Utusan Allah. Kaget dan takut, Muhammad bergegas pulang ke rumah karena tak tahu apa arti perjumpaan tersebut.

Ia pun ditenangkan oleh Khadijah, yang memercayai cerita pertemuan di gua tersebut. Khadijah lalu bertanya kepada sepupunya, yang biasa membaca kitab suci umat Yahudi dan Kristen. Saat sepupunya mendengar apa yang terjadi, ia langsung menerima Muhammad sebagai rasul pembawa pesan pada masa ini, seperti halnya Musa dan Isa sebelumnya. Setelah diperkuat oleh istri dan sepupu istrinya, Muhammad menerima misinya sebagai Pembawa Pesan Tuhan dan dimulailah kehidupannya sebagai Nabi.

Orang pertama yang mendengar kenabian Muhammad dan memercayainya adalah Khadijah, yang dapat dikatakan langsung memeluk Islam sekembali Muhammad dari gua. Nabi mulai mengajak kalangan terdekat masuk ke agama baru ini. Teman terdekatnya, Abu Bakar; sepupu mudanya, Ali; dan pembantunya, Zaid, semuanya menghormati dan memercayai Muhammad.

Mereka segera memberitahukan kalangan terdekat mereka juga dan perlahan jumlah pemeluk Islam bertambah. Dakwah pertama-tama dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Mekah terdiri atas masyarakat politeis sehingga gagasan satu Tuhan yang menggantikan banyak sembahan pasti akan dianggap ancaman. Maka, bulan dan tahun-tahun pertama Islam ditandai dengan berkembangnya kelompok rahasia.

Karena takut menghadapi reaksi masyarakat, tetapi tunduk pada gagasan agama baru ini, para pengikutnya disebut Muslim, yang berarti ‘orang yang tunduk’. Kata Islam itu sendiri, yang merupakan akar kata Muslim, berarti ‘ketundukan kepada Tuhan dan kehendak-Nya’.

[Celakalah bagi setiap pengumpat dan pencela, yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya, dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya. Sekali-kali tidak! Pasti dia akan dilemparkan ke dalam api neraka.

(Al-Humazah [104]: 1–4)]

Pada saat yang sama, gagasan inti Islam mulai menemukan bentuk melalui turunnya ayat-ayat yang kemudian disebarkan kepada masyarakat. Monoteisme yang tegas, jauh berbeda dari agama yang ada di Mekah, menjadi tema inti. Menurut Nabi Muhammad, hanya ada satu Tuhan. Berhala yang disembah oleh penduduk Mekah tak lebih dari sekadar patung batu dan kayu tak berguna, serta tak mampu memberikan manfaat kepada siapa pun.

Ayat-ayat yang turun juga memperingatkan adanya Hari Pembalasan, ketika setiap jiwa akan dihadapkan kepada Tuhan untuk dihitung amalnya. Orang-orang yang percaya kepada Tuhan dan melakukan amal baik akan masuk surga abadi sebagai balasannya. Dan, orang-orang yang ingkar akan dimasukkan ke neraka dan disiksa selama-lamanya.

Akan tetapi, Islam bukanlah agama yang hanya memikirkan teologi dan kehidupan setelah mati. Ayat-ayat yang turun awal juga mencela penyakit sosial yang merebak di Mekah. Dengan meningkatnya kemakmuran dari jalur perdagangan, terbentuklah perbedaan kelas sosial. Orang kaya akan memanfaatkan uangnya untuk mendanai lebih banyak kafilah sehingga menghasilkan lebih banyak uang. Sementara itu, orang miskin akan terus terpinggirkan, terlebih lagi jika ia bukan anggota suatu klan yang kuat.

Quran menyatakan ketidakpedulian kepada orang miskin akan merusak kemantapan tatanan sosial yang adil dan akan mengakibatkan hukuman di akhirat nanti. Butuh waktu bertahun-tahun sampai aturan yang berhubungan dengan masyarakat dapat diterapkan. Tetapi, semenjak awal sudah jelas bahwa Muhammad datang tak hanya untuk mengubah kepercayaan religius, tetapi juga masyarakat itu sendiri.

Ayat-ayat yang turun awal mengulang tema-tema ini beberapa kali. Ayat dan surat yang diturunkan di Mekah, yang dapat ditemukan di akhir Quran, cenderung pendek dan langsung. Cara ini bekerja dengan baik bagi komunitas Muslim yang baru lahir, yang belum dikenal oleh masyarakat Kota Mekah.

Saat berkumpul dengan sesama, orang Muslim akan mendiskusikan wahyu terakhir di kalangan mereka dan saling mengajarkan. Saat berkumpul dengan non-Muslim, mereka harus menyembunyikan perpindahan agama dan keyakinannya. Lagi pula, seluruh gagasan baru ini akan mengancam tatanan sosial yang sudah mapan di Mekah. Kesetaraan sosial, ekonomi, dan suku sudah dalam genggaman anggota suku Quraisy yang kaya dan berkuasa. Revolusi sosial jarang diterima oleh mereka yang berada dalam kekuasaan.

Bahkan, Muhammad sendiri belum mendukung perubahan apa pun dalam masyarakat. Keyakinan baru itu menjadi ancaman bagi posisi ekonomi dan sosial para penganut politeisme. Karena Kakbah, Mekah menjadi pusat kehidupan religius bangsa Arab di seluruh Semenanjung Arab. Sekali setahun, orang-orang Arab akan bepergian ke Mekah untuk melaksanakan ziarah dan menghormati ratusan berhala yang disimpan di sekitar Kakbah.

Bagi orang Quraisy, ini berarti bisnis yang sangat menguntungkan. Perdagangan adalah produk sampingan alami dari ritual ziarah ini: karena ada begitu banyak orang dari segala penjuru di satu tempat pada saat bersamaan, pasar alamiah berkembang, sehingga Mekah menjadi pusat kehidupan religius, ekonomi, dan politik di Arab. Dan, sebagai fasilitator perdagangan ini, Quraisy mendapatkan keuntungan besar.

Akan tetapi, pesan yang dibawa Nabi Muhammad menolak pentingnya berhala dan menekankan keesaan Tuhan. Tanpa berhala, takkan ada ziarah. Tanpa ziarah, takkan ada bisnis. Ini bukan skenario yang menyenangkan bagi Quraisy dan para pengikut awal Nabi Muhammad juga mengetahuinya. Karena alasan ini, tak mungkin mengungkapkan agama baru ini di kalangan para pemimpin suku.

Komunitas Muslim masih kecil dan lemah sehingga belum berani menghadapi konflik ideologi terbuka dengan para penguasa. Terutama mempertimbangkan kenyataan bahwa sebagian besar penganut awal adalah orang-orang yang dianggap berada di kelas sosial terbawah. Budak, pembantu, dan orang miskin menjadi bagian terbesar komunitas Muslim awal, tertarik pada ajaran kesamaan manusia di hadapan Tuhan dan sifat egaliter agama baru ini. Kekayaan dan status sosial tidak menentukan nilai seseorang.

Penyiksaan

Akhirnya, komunitas Muslim menjadi terlalu besar untuk diabaikan oleh orang Quraisy. Awalnya, Muslim bisa shalat di tempat tersembunyi di luar kota. Tetapi, saat kelompok peribadatan semakin besar, peluang untuk ketahuan pun semakin tinggi. Inilah yang terjadi saat sekelompok penyembah berhala melihat sekelompok Muslim yang sedang shalat. Mereka langsung bereaksi dengan mencemooh Muslim dan cara beribadahnya.

Awalnya, Quraisy tenang-tenang saja, menganggap komunitas kecil itu sebagai ketaklaziman yang bisa diejek, sampai mereka menyadari daya tarik gagasan baru ini. Monoteisme, keadilan sosial, kesetaraan, dan ketundukan kepada perintah Tuhan, semuanya adalah teori yang mengancam Quraisy. Di mata banyak pemimpin Quraisy, solusi untuk menyelamatkan diri dari gerakan religius dan sosial baru ini yaitu dengan menyingkirkan sumbernya: Muhammad.

Akan tetapi, masyarakat Arab masih memegang struktur dan aturan. Walaupun anak yatim, Muhammad masih berada di bawah perlindungan pamannya, Abu Thalib. Ia pemimpin Bani Hashim, salah satu klan Quraisy. Abu Thalib sendiri menolak menerima Islam, tetapi harga diri dan rasa hormat pada aturan sosial Arab membuat ia melindungi keponakannya.

Lebih jauh lagi, budaya Arab tua menyatakan jika Nabi Muhammad terbunuh, anggota klannya diizinkan membalas dendam sehingga dapat terjadi perang saudara di jalanan Mekah. Jadi, Nabi Muhammad sendiri tidak bisa disakiti, tetapi perlindungan tersebut tidak berlaku bagi para pengikutnya. Banyak di antaranya yang tidak dilindungi oleh klan atau keluarga mana pun.

Suku Quraisy memutuskan untuk mengancam dan menganiaya mereka, dengan harapan bisa memadamkan semangat yang lain untuk bergabung dengan agama baru tersebut. Maka, umat Muslim kerap dilecehkan dan dicabut haknya di Mekah. Meski mendapat perlindungan, Nabi Muhammad tak mampu menghentikan penindasan terhadap para pengikutnya.

Lihat selengkapnya