Sejarah Islam yang Hilang

Bentang Pustaka
Chapter #3

Tiga - KHULAFAUR RASYIDIN

Wafatnya Nabi menyebabkan tumpahnya kesedihan di jalan-jalan Madinah. Kaum Muslim mengalami periode sulit menghadapi kenyataan bahwa Nabi Muhammad tak lagi bersama mereka sehingga awalnya ada beberapa yang menolak berita tersebut. Tetapi, wafatnya Nabi juga memunculkan pertanyaan tentang kepemimpinan di Madinah.

Selama lebih dari dua puluh tahun, Nabi Muhammad memimpin umat Muslim secara politis dan spiritual. Hubungan langsung dengan Allah memberikan arti bahwa masyarakat dipandu oleh kekuatan yang sesuai dengan rencana Ilahi. Sekarang, hubungan itu tak ada lagi. Apa yang akan terjadi kepada masyarakat yang dibangun Nabi Muhammad? Lebih khusus, siapa yang akan memimpin umat Islam sepeninggal Nabi?

Bahkan, sebelum jenazah Nabi dikuburkan, sekelompok tokoh utama dari kaum Muhajirin dan Ansar berkumpul untuk menjawab pertanyaan soal kepemimpinan. Perbedaan pendapat dalam kelompok tersebut tentang siapa yang harus mendapat otoritas atas negara Muslim muda ini dapat mengancam perpecahan umat.

Mungkin juga ada usul solusi dua negara—yang satu dipimpin orang Ansar, satu lagi Muhajirin. Akhirnya, Umar mencalonkan Abu Bakar menjadi pemimpin politik negara kesatuan Muslim yang berpusat di Madinah. Abu Bakar adalah pilihan tepat. Setelah Khadijah, dialah orang pertama yang menerima Muhammad sebagai nabi dan masuk ke agama baru itu.

Dia menemani Nabi Muhammad saat hijrah ke Madinah. Bahkan, dialah yang ditunjuk Nabi Muhammad untuk mengimami shalat di Masjid Nabawi pada hari-hari terakhir hidup Nabi. Ya, ia memang berasal dari Mekah, tetapi tak seorang pun—baik Muhajirin maupun Ansar—bisa mendebat kualifikasinya.

Abu Bakar

Abu Bakar mendapat gelar Khalifat-ul-Rasul, berarti ‘Penerus Utusan Tuhan’—disingkat khalifah—pada 632. Khalifah bukanlah nabi baru. Kitab Quran jelas menyatakan Muhammad sebagai nabi terakhir dan tak ada lagi nabi yang datang setelahnya. Terlebih lagi, tugas khalifah bertindak sebagai pemimpin politik dengan mengikuti teladan yang diberikan Nabi Muhammad saat memimpin Madinah.

Maka, khalifah diharapkan menjadi pemimpin yang cakap, mampu mengelola permasalahan negara Muslim dengan efektif, juga mampu melindungi agama yang dibawa Nabi Muhammad dan menggerakkan orang untuk mengikutinya sebisa mereka. Sikap Abu Bakar dalam menjalankan tugas akan menjadi contoh bagi khalifah berikutnya untuk memenuhi peran tersebut.

Demi menegakkan keberlanjutan tujuan politik Nabi Muhammad, Abu Bakar mengirim kekuatan ke Suriah selatan untuk bertempur melawan Byzantium sebagai balas dendam atas konfrontasi sebelumnya. Ekspedisi ini menunjukkan tujuan politik umat Islam tak akan berhenti sepeninggal Nabi. Tetapi, ekspedisi ini tak sepenting perkembangan ancaman dari gurun pasir sebelah timur Madinah.

Di sana, berbagai suku Badui yang baru masuk Islam mulai memberontak. Logika mereka sederhana: mereka bersumpah setia pada Islam dalam kekuasaan Nabi Muhammad. Dan, sejak beliau wafat, sumpah itu tak lagi berarti. Mungkin alasan lain memisahkan diri dari pemerintahan Abu Bakar adalah kebencian tradisional Arab terhadap pemerintahan yang terorganisasi.

Selama berabad-abad, suku-suku Arab mengembara dengan bebas tanpa ada pemerintah pusat yang menentukan langkah mereka atau memungut pajak. Walau menyesal, mungkin mereka tetap dapat menerima perjanjian semacam itu dengan Nabi Muhammad. Tetapi, pasti mereka takkan patuh begitu saja di bawah Abu Bakar.

[“Jangan membunuh anak-anak, juga perempuan, juga orang tua. Jangan merusak pohon, jangan pula membakarnya dengan api, terutama yang sedang berbuah. Jangan menyembelih ternak musuh, kecuali untuk dimakan. Jika engkau melewati segolongan manusia yang mengabdikan diri dalam biara, jangan diganggu.” —Aturan perang Abu Bakar yang diperintahkan kepada pasukannya]

Diiringi kebencian terhadap pemerintahan terorganisasi, muncul sejumlah orang yang mengklaim diri sebagai nabi. Yang paling menonjol di antaranya Musailamah—dikenal sebagai Musailamah Si Pembohong dalam sumber-sumber sejarah kemudian.

Penolakan suku-suku ini untuk membayar zakat, pilar penting dalam Islam, ditambah penerimaan terhadap nabi baru membuat Abu Bakar menyatakan mereka telah meninggalkan Islam dan merupakan ancaman bagi agama Islam itu sendiri. Jika kelompok tersebut dapat menentukan aspek Islam mana yang diterima atau bisa menyatakan diri sebagai nabi dan mengambil agama apa pun yang cocok bagi mereka, kesucian Islam dapat hilang di tengah ratusan versi.

Tak diragukan lagi, contoh-contoh orang terdahulu yang mengubah agama dari Tuhan agar sesuai dengan keinginan mereka—sebagaimana disebutkan dalam Quran—muncul di benak Abu Bakar. Orang-orang tersebut ditegur Tuhan dan akan dihukum pada Hari Pengadilan atas dosa-dosanya. Inilah takdir yang benar-benar dihindari orang saleh dalam masyarakat Muslim.

Hasilnya, tindakan militer harus diambil Abu Bakar. Ia menunjuk Khalid bin Walid sebagai komandan pasukan yang dikirim ke timur untuk memadamkan gerakan pemberontakan. Nama Khalid terkenal di seantero Semenanjung Arab dan ia belum pernah kalah dalam pertempuran yang dilakukan, baik sebelum ataupun sesudah masuk Islam. Karena akrab dengan peperangan gurun dan punya keahlian kavaleri, terpilihnya ia sebagai pemimpin ekspedisi dapat dimengerti.

Setelah berhasil mempertahankan Madinah dari setiap kemungkinan serangan pemberontak, Khalid memimpin pasukan ke arah timur, tempat tinggal sekian banyak suku pemberontak. Kekuatan Musailamah tidaklah sebanding dengan kecakapan militer Khalid. Pemberontak mundur dan Musailamah terbunuh dalam peperangan.

Perlahan-lahan, kesetiaan kepada khalifah menyebar di seluruh Jazirah Arab, menyeru suku-suku untuk kembali ke Islam dan memerangi mereka yang masih memberontak. Pada 633, perang melawan kemurtadan selesai dan seluruh Arab sekali lagi bersatu sebagai negara kaum Muslim. Islam telah berhasil selamat melewati tantangan politik, menghapuskan pertanyaan tentang kesetiaan pada Islam dan kepemimpinan politik sepeninggal Nabi.

Perang ini menanamkan satu teladan penting berkaitan dengan masa depan dunia Islam. Pertama, konflik tersebut menunjukkan persatuan spiritual Islam merupakan kepentingan yang paling utama. Penyimpangan dan nabi palsu tidak akan ditoleransi. Menurut keyakinan Islam, bangsa sebelumnya yang telah diseru pada monoteisme dan menyimpang dari hukum Tuhan telah beruntung dengan dikirimkannya nabi untuk meluruskan mereka.

Ketetapan Nabi Muhammad sebagai nabi terakhir berarti tak ada lagi nabi yang akan datang untuk memperbaiki kesalahan Muslim yang menyimpang. Tak boleh ada kesalahan dalam menjaga Islam seautentik masa Nabi Muhammad. Ekspedisi militer Khalid menunjukkan dunia Islam bahkan siap mengangkat senjata untuk melindungi pesan Ilahiah Islam.

Kedua, kesatuan politik dunia Islam dijamin untuk sementara. Hanya ada satu pemimpin di dunia Islam. Semenanjung Arab berada di antara dua kekuatan dunia—Byzantium dan Sassanid. Jika mereka ingin bertahan di kancah internasional, dibutuhkan persatuan. Perang Ridda membuktikan bahwa hanya ada satu negara Muslim, kekhalifahan, di bawah satu pemimpin Islam, khalifah.

Ketiga, dan mungkin yang terpenting, otoritas pemerintah pusat telah ditetapkan. Bagi suku-suku Arab, persatuan dan konsep pemerintah pusat yang jauhnya berkilo-kilometer merupakan gagasan asing. Perang Ridda telah meneguhkan sejarah Islam selanjutnya (secara ideal) akan lepas dari masa lalu Arab yang nomaden dan terdesentralisasi. Bangsa Arab sedang memasuki era sejarah yang baru dan pemerintahan mereka harus mencerminkan hal tersebut.

Selain memperkuat keberlanjutan negara Islam, masa kekhalifahan Abu Bakar sangat penting bagi pelestarian Quran dalam bentuk tertulis. Pada masa Nabi, banyak sekretaris yang ditugaskan untuk menulis wahyu Quran saat baru diturunkan. Naskah-naskah tersebut tak dikumpulkan dalam satu buku, tetapi berbentuk potongan yang tersebar di mana-mana. Lagi pula, Madinah terdiri atas masyarakat dengan tradisi lisan dan hanya sedikit orang yang bisa baca-tulis.

Bentuk tertulis Quran tidak sepenting hafalan kata demi kata. Umar menyarankan agar seluruh naskah tersebut dikumpulkan, akurasinya diperiksa lagi dengan ingatan para sahabat yang dapat dipercaya, disimpan di lokasi terpusat, untuk berjaga-jaga atas skenario yang tak diinginkan jika semua penghafal Quran meninggal. Meskipun ada keraguan awal melakukan sesuatu yang tak dikerjakan Nabi, Abu Bakar menjalankan rencana itu dan koleksi naskah Quran dikumpulkan di Madinah.

Kekhalifahan Abu Bakar hanya berlangsung dua tahun—dari 632 sampai wafatnya pada 634 Masehi. Dalam dua tahun itu, ia mampu menstabilkan negara Islam sepeninggal Nabi dan melengkapinya dengan memanfaatkan melemahnya kekuatan imperial di utara. Dua tahun masa kepemimpinannya telah membuahkan teladan tentang peran khalifah dalam umat Islam dan keberlanjutan keyakinan Muslim setelah Nabi wafat.

Teladan terakhir yang ditanamkan Abu Bakar adalah pemilihan penerusnya. Alih-alih memilih saudaranya untuk menjadi pemimpin sepeninggal dia—seperti yang menjadi tradisi Arab sebelum Islam—Abu Bakar memilih seseorang yang ia yakini paling memenuhi syarat dan mampu memegang tugas sebagai khalifah. Pada akhir hidupnya, ia menunjuk Umar bin Khattab sebagai penerus.

Umar

Seperti Abu Bakar, Umar termasuk orang yang masuk Islam sejak awal. Ia menyatakan keimanannya di hadapan Nabi di Mekah sebelum hijrah dan selalu bersama Nabi di seluruh peperangan dan peristiwa besar di Madinah. Tak ada keraguan akan kemampuannya memimpin negara Islam. Dan, berdasarkan tradisi Islam, tampaknya tak ada penolakan atas pengangkatan dirinya sebagai khalifah. Stabilitas pemerintahan dan suksesi seperti ini akan hilang nantinya dalam sejarah Islam.

Tak seperti Abu Bakar, Umar tidak harus mengatasi masalah stabilitas politik atau keberlanjutan agama. Seluruh Jazirah Arab telah bersatu di bawah perintahnya. Gerakan militer masif ke seluruh jazirah saat Perang Ridda telah memberikan keyakinan dan kemampuan di kalangan Muslim untuk mulai berpikir serius melebarkan wilayah ke utara.

Selanjutnya, cara hidup tradisional yang dibelenggu Jazirah Arab tak lagi layak. Selama berabad-abad, orang Arab mempertahankan hidup dengan terus-menerus menyerang suku saingan dan merebut harta rampasan perang. Sekarang mayoritas orang Arab adalah Muslim, tindakan menyerang suku tetangga bertentangan dengan hukum Islam. Nabi telah menyatakan di berbagai kesempatan bahwa penduduk Muslim menjadi satu Ummat atau bangsa.

Tak terbayangkan jika bangsa itu akan melewati sejarah dalam konflik internal terus-menerus. Untuk menghilangkan potensi konflik internal, juga menjamin keamanan bagi beberapa suku Arab yang masuk Islam di perbatasan Byzantium dan Sassanid, pasukan Islam mengarah ke utara, tempat akan terjadinya penaklukan terbesar.

Serangan ke Mesopotamia yang dikuasai Sassanid telah dimulai pada tahun terakhir kehidupan Abu Bakar dan dilanjutkan begitu Umar berkuasa. Awalnya, Umar dan tokoh Muslim lain mungkin tak meramalkan serangan ini akan berubah menjadi penaklukan permanen. Tetapi, perang habis-habisan antara Byzantium dan Sassanid yang berlangsung sejak 603 hingga 628 Masehi membuat mereka lemah dan tak mampu membendung gelombang penyerbuan Muslim Arab yang telah tiba di perbatasan.

Tanah subur Mesopotamia dan Suriah sudah siap ditaklukkan; yang dibutuhkan hanyalah serangan terorganisasi dari pihak Muslim. Tetapi, ini akan menjadi perang model baru. Tak seperti peperangan merusak yang dilakukan kedua kekaisaran tersebut, perang Islam dikombinasikan dengan seruan untuk keadilan dan keharmonisan sosial yang sesuai dengan pesan Nabi.

Saat mengirimkan pasukan pertama, Abu Bakar memerintahkan untuk memastikan keselamatan perempuan, anak-anak, dan bahkan orang tua; membiarkan para biarawan di biaranya; dan melarang menghancurkan tanaman. Aturan ini tak berbeda dari yang dipegang orang Arab dalam penaklukan sebelum Islam. Tetapi, gerakan Nabi Muhammad bersifat revolusioner sejak awal. Gagasan, tradisi, dan cara hidup lama harus dirobohkan demi tatanan baru yang diperluas, hingga dalam peperangan.

Secara bersamaan, pasukan dikirim ke Suriah dan Mesopotamia pada 633. Khalid bin Walid, yang baru saja memenangi Perang Ridda, memimpin detasemen menuju Persia. Sementara itu, Yazid, anak Abu Sufyan, memimpin pasukan yang dikirim ke Suriah. Di sana, dengan cepat ia mampu mengalahkan kekuatan Byzantium di dekat Gaza.

Bagi orang-orang Byzantium, kekalahan mengejutkan tersebut menandakan bahwa ini mungkin bukan perampasan biasa, melainkan invasi total. Kaisar Heraclius memerintahkan pasukannya dimobilisasi dan bersiap menghancurkan Arab sebelum mereka mampu mengonsolidasikan kemenangannya.

Lihat selengkapnya