SYAM.
"Hey! Mau sampai kapan berbuat buruk. Berhentilah!" Begitu kalimat yang kudengar sebelum aku terbangun, dari tidurku yang menggelisahkan. Samar-samar terlintas apa yang baru saja kulihat dengan mata yang terpejam. Seorang gadis berjilbab putih dengan wajah tertutup cahaya, dan rembulan malam tepat di atas kepalanya. Sudah tiga kali aku mendapati mimpi seperti ini, tanpa pernah tahu siapa gadis itu dan apa artinya. Entah siapa dia yang bicara saat itu, tapi suaranya begitu menggema di telinga, bahkan sampai hingga ke ruang kecil dalam jiwa. Aku tersentak. Rasanya seperti sedang dinasehati agar aku berhenti dari merusak hidupku, dan mencari jalan yang lebih terang, dengan hadiah perhiasan terindah di bumi.
LAYLA.
"Hey! Carilah jalan yang benar untuk hidupmu!" Kata-kata itu terus menghantuiku dalam tiga waktu. Membangunkan tidurku yang tak pernah lelap. Setiap kali aku terdiam, selalu terbayang di pikiran ini tentang dia. Lelaki yang menyapaku tanpa memberitahu siapa dirinya. Yang kuingat dia memakai baju serba putih, wajahnya tak terlihat karena terhalang sinar mentari di belakangnya. Apa maksudnya selalu kutanya, apa artinya tak mampu kucerna. Untuk diriku yang sudah lama jauh dari kata membumi, tak pernah benar-benar kenal apa itu Agama, membuatku merasa terpukul. Hatiku tersambar. Apa selama ini hidupku memang telah salah, hingga aku harus mencari lagi hidup yang seharusnya benar. Lalu ... seperti apa.
*****
Menopang dagu sambil melamun memandangi lampu, dengan jemari tangan memainkan satu shot espresso, yang sedari tadi diputar-putarnya. Syams Shabhi Rabbani, atau sering dipanggil Syam. Lelaki berusia tiga windu. Mahasiswa semester akhir jurusan sastra Arab. Karyawan paling lama di cafe bernama Rabbani. Cafe dengan konsep berbeda dari yang lain. Tak ada tembok yang bersih, kecuali tertulis kata-kata motivasi. Tak ada rak buku, kecuali kisah-kisah terbaik dan inspiratif dari orang-orang terbaik. Tak ada suara kecuali ajakan untuk terus berbuat kebaikan.
Sudah tiga tahun cafe ini berdiri, ide dari seorang Syam yang pengangguran, pada seniornya Kang Fahmi. Sahabat sekaligus penyelamat baginya, atau bahkan lebih seperti keluarganya sendiri. Ramai sudah berlalu beberapa menit, kini tinggal sepi menuju ke ujung waktu bergantinya warna langit sore hari. Seperti cafe pada umumnya, keramaian pengunjung tak selalu bersahabat setiap hari. Ada ramai yang penuh hingga mengantre, ada juga saat sepi dengan segelintir pembeli.
Tempat ini cukup strategis, berdiri sangat dekat dengan stasiun kereta api. Setiap pandangan dari orang yang berlalu-lalang, selalu menyempatkan waktu melihat ke arah nyentriknya itu bangunan. Keunikan apalagi yang bisa didapat dari cafe bergaya Islami, dengan para pekerja mantan orang baik dalam tanda kutip. Tatto dan dan tindik yang masih bisa dilihat bekasnya, dan senyum ramah yang kadang malah membuat pengunjungnya ketakutan. Hanya Syam seorang, yang tubuhnya masih bersih dari lubang dan noda tinta. Karena Syam memang tidak terlalu suka mengotak-atik penampilan. Bukan tanpa alasan mereka memilih kembali ke jalan kebenaran. Karena sadar jalan yang lalu adalah jalan yang buntu. Seakan mereka berkata, "Jika masih ada pilihan dari kebaikan, lalu pantaskah kita memilih keburukan."
"Syam! Bengong terus mikirin apaan sih?" tanya Bimo usil, melemparkan pulpen dari meja kasir.