Gang, emperan, dan tempat sampah jadi rumah baru bagiku. Kardus dan koran bekas jadi alas tempat tidurku. Pakaianku serba lusuh, wajahku Kehilangan ekspresi selain murung. Tak ada yang tahu keadaanku, karena setiap hari bersembunyi dari keramaian. Rasanya aku terlalu malu mendatangi teman-temanku. Cara hidupku seperti kucing jalanan, kalau tak mencuri, sisa siapa pun jadi. Sudah lebih dari seminggu aku tak datang ke sekolah. Entah, mungkin tak ada juga yang mencari keberadaanku.
Tapi dalam keputusasaanku, seseorang menghampiri. Sahabat, tidak, teman, bukan, kenalan, mungkin. Ia lebih seperti Kakak yang gemar sekali menasehati, meski kebanyakannya adalah keburukan. Sebut saja Kang Fahmi, Seniorku yang kelasnya lebih tinggi satu tingkat dariku. Entah kenapa ia bisa dipanggil Kang, mungkin karena Orangtuanya berasal dari Sunda, atau wajahnya yang menyelisihi usia.
Aku yang tak kenal dekat dengannya, tadinya menghindar. Karena kebanyakan anak seusia itu, tak mengerti keadaan. Tapi dia berbeda, setelah lama cerita tentang semua yang kuderita, dia bisa-bisanya percaya. Diterimanya keluhku, dirangkulnya hidupku yang jatuh, lalu dia buatku kembali berdiri. Setelah tahu diriku, dia merasa ada yang sama dari kisah hidupnya, sama-sama tak dapat waktu bersama dengan keluarga. Ibunya pergi setelah cerai dari Ayahnya, ketika ia baru saja masuk Sekolah Dasar. Tapi Ayahnya selalu sibuk, dengan diri sendiri dan pekerjaan.
Ditawarkannya tempat tinggal, rumahnya yang kebetulan hanya diisinya bertiga, dengan pembantu dan Ayahnya yang jarang sekali pulang. Saat itu aku merasa terselamatkan. Ayahnya yang sesekali kembali, menerimaku dengan baik, setelah mendengar sendiri alasannya dariku. Tanpa perlu kutambah bumbu-bumbu pelik untuk menutupi kesalahanku, ia tersenyum seakan mengerti. Bagai anak adopsi, atau korban bencana alam, aku diurusi seperti keluarga sendiri. Semuanya ditanggung, dengan alasan kewajiban sesama makhluk untuk saling membantu. Sampai-sampai, aku merasa tak enak dibuatnya, dan aku merasakan jadi anak orang berkecukupan meski hanya perasaan. Dia cuma orang sederhana katanya, bisa dilihat dari dua buah mobil yang tak pernah dipakainya, dan memilih menggunakan motor murah bertuliskan Harley Davidson.
Dua tahun kami lewati bersama, dengan penuh suka campur duka. Membuat benang pertemanan kami, perlahan berubah jadi tali persahabatan, bahkan persaudaraan. Kami saling mengenal satu sama lain, baik itu kebaikan atau keburukan, adalah rahasia yang kadang dijadikan candaan atau ancaman. Sifat liar kami yang tumbuh semakin dalam, akibat tekanan, lingkungan, dan keadaan. Diriku yang kini punya hobi baru yaitu membuat masalah, malah diikutinya dengan senang hati, bahkan dia lebih gila lagi dariku.