Sejarah Jatuhnya Dua Hati

Awwall Elsyahidand
Chapter #4

Terjebak

360 hari terlewati, menyeretku pada rasa jenuh menjadi manusia yang kehilangan ambisi. Manusia yang tak lagi punya asa kecuali bisa hidup hari ini. Sebenarnya harapanku terlalu banyak, hingga meluap dan berserak seperti bintang di langit gelap, hanya jadi sesuatu yang bisa didambakan tanpa pernah tergapai. Waktuku habis begitu saja, seperti kayu yang dilahap api hingga yang tersisa hanya abu. Kupakai masa muda untuk bermain-main dengan kesenangan yang menipu, atau kepuasan yang tak pernah ada habisnya.

Kertas berangka yang kucari dengan membanting tulang, kugunakan untuk asap, obat, dan minuman yang tak menyehatkan. Untuk bertaruh skor bola, atau apa saja yang bisa menghasilkan yang nilainya cukup besar untuk manusia kalangan bawah. Meski tak pernah satu kali pun merasakan kemenangan, tapi terus kulakukan seakan sudah keracunan.

Begitu habis isi dompet, kupinjam dana sana-sini untuk menutupi kerugian dengan lubang yang lain lagi. Seperti orang yang sedang dirasuki, tubuhku bergerak sendiri dengan kebiasaan ini. Meski hati seakan menolak dan tak mengerti apa yang sebenarnya dicari. Rutinitas yang kujalani seperti tak ada harganya sama sekali, tak ada yang didapat kecuali lelah dan sesak hati. Berjalan, berlari, berhenti lalu jatuh dan mati, seperti itukah hidup. Jiwaku bertanya pada diri sendiri, sudah tentu tak ada jawabnya.

Pikiranku kalut seperti orang gila, cita-citaku setiap hari selalu sama. Berharap ketenangan, kenyamanan dan tentu saja kenyataan. Tapi tak kunjung kudapatkan maka itu aku lari lalu mencari yang semu, palsu, dan menipu. Beban di hidupku terus bertambah, baik pikiran dan perasaan buruk yang menguras hati semuanya bersekutu saling membantu menjatuhkanku. Kalau kuakhiri semua apakah benar-benar akan berakhir penderitaan ini, dalam hati kata-kata itu muncul mengiringi rasa resahku. Aku tahu itu setan, sebab dulu kita seperti teman, sesat dan menyesatkan. Tapi tak begitu saja kuikuti karena begini-begini, aku masih takut dengan yang namanya mati. 

Aku jadi manusia yang paling dibenci, diburu banyak orang karena hutang dan perbuatanku yang menyimpang. Seperti anak muda pembuat onar, kerjanya hanya ribut dan mabuk-mabukan. Teman-teman sejiwaku mungkin sudah mengenal siapa diriku, mereka tak keberatan jika kami semua saling menipu, karena itu tak heran jika ada yang pura-pura lupa ingatan saat berhadapan dengan tagihan. Tapi aku terlalu banyak kenalan dan semuanya kujadikan korban, tentu mereka tak terima dan mulai memusuhiku. Yang kupinjam memang bukan sedikit, jelas mereka begitu marah saat melihatku yang mencoba lari dari tanggung jawab. Sebenarnya bukan itu maksudku, hanya karena harapan dan angan-angan yang terlalu berlebihan aku berani menipu orang lain dan diri sendiri.

*****

Di restoran tempatku bekerja, seorang gadis berambut ikal tengah melamun di hadapanku, yang tengah sibuk melayani pembeli. Sebut saja Mawar. Bukan, nama sebenarnya itu Bunga Devina, tapi orang-orang lebih sering memanggilnya Mawar. Jangan tanya mengapa, sejak aku mengenalnya setahun sebelum lulus di SMK dulu, nama itu sudah melekat padanya. Dia ini salah satu dari sekumpulan siswi yang tersesat di tengah-tengah para siswa, terlebih lagi siswa itu rusak sepertiku dan kawan-kawan. Dia ke tempat ini hampir setiap Minggu. Meski yang dipesannya cuma satu minuman, dia bisa bertahan berjam-jam melamun sambil memainkan sedotan.

"Mbak... Kalau enggak mau pesen minggir dulu ya, sempit nih," usirku secara halus.

"Kata siapa? Gue mau pesen kok," jawabnya membela diri.

"Pesen apa? Dari tadi Lo kan cuma bengong depan gue."

Lihat selengkapnya