Sejarah Jatuhnya Dua Hati

Awwall Elsyahidand
Chapter #5

Titik-titik Cahaya

Di belakang salah satu masjid terbesar di kota ini, kami para pemuda gila sedang asyik mengobrol dan menenggak minuman yang tak menghilangkan dahaga sama sekali. Beginilah kami ini. Sebagian besar dari kami memang sudah bekerja. Ada yang jadi pegawai restoran sepertiku dan Bimo, ada yang di pabrik, ada juga yang jadi pembalap jalanan, pengamen, dan sisanya jadi orang yang mengundi nasib dengan keberuntungan. Meski begitu hasil kerja kami selalu habis untuk Orangtua, tapi tunggu dulu, Orangtua yang mana? Dia sudah ada sejak 1948.

Suara Tabligh Akbar dari Ustadz kondang yang balihonya terpampang di pinggir jalan, beradu dengan suara bising gitar dan nyanyian yang dimainkan oleh Bimo dan kawan-kawan. Aku yang sesekali melerai dan menghentikannya, seakan tubuhku bergerak dengan sendirinya.

"Ssst... Bim jangan berisik, lagi ada pengajian." Kata-kata itu keluar begitu saja.

"Ya elah masing-masing aja kali Syam, emang kenapa sih Lo, aneh banget belakangan ini," balasnya santai tapi tetap mengecilkan suaranya.

"Kenapa Lo, kesambet!" tambahnya lagi.

"Yeh... Terserah Lo deh!" Langkahku menjauh dari mereka.

Kupilih beranjak pergi ke penjual kopi yang jaraknya tidak jauh dari tempat itu. Rasanya lebih tenang jika sendiri, dan perlahan semua yang dulu begitu menyenangkan, sekarang seakan tak lagi bisa kurasakan. Suara pengajian dari dalam masjid itu terdengar hingga ke luar, dibandingkan dengan teman-temanku yang sedang tuli, telingaku seperti terbuka lebar untuk mendengar jelas apa yang diserukan oleh Ustadz tersebut. Bukan seperti diriku yang biasanya mengelak, malam itu aku khusyuk mendengarkan hingga kopi panas di hadapanku berubah dingin. Rasa-rasanya ada sesuatu yang menampar hatiku saat itu. Aku membatu cukup lama.

*****

Senin sampai Sabtu berlalu. Sejak malam itu, telingaku panas meski sudah kusumbat dengan lagu-lagu. Ada yang salah dengan semua ini pikirku, kenapa setiap tindakanku selalu diiringi rasa bersalah. Apa yang harus dilakukan oleh orang yang setiap harinya gelisah kebingungan ini. Ban Vespa ini sudah menggelinding jauh, membawaku entah ke mana. Hari libur ini seharian aku benar-benar libur. Tidak tidur, tidak mandi, tidak makan, tidak minum kopi, semua terlupakan oleh perasaan yang tak karuan. Hanya ingin mencari angin pikirku, tapi angin seperti apa? Angin ketenangan yang menerpa, yang bisa membawa pergi jauh beban yang terlalu berat ini. Tapi tak juga kutemukan, aku hampa, lelah, ingin menghilang saja rasanya.

*****

Akhirnya tubuh ini menyerah juga. Aku berhenti di sebuah warung, merogoh kocek, membeli sebotol minuman. Lalu duduk di bangku dekat pohon rindang di samping Masjid. Belum sempat kubuka botol itu, saking lelahnya mataku tertutup. Hening rasanya.

"Mas ... Air minumnya jatuh!" Seseorang membangunkanku dari tidur yang tak sengaja.

"Oh, iya makasih!" Jawabku pelan dengan mata yang masih berat.

Nampak seorang pria paruh baya duduk di sampingku. Mata kirinya tertutup, entah kenapa aku tak tahu. Bajunya terlihat kusut, penampilannya lebih lusuh dariku. Karung besar entah berisikan apa, disandarkannya di sebelahku.

"Habis pulang kerja Mas?" tanyanya dengan logat Jawa yang kental sambil mengipasi wajah dengan topinya.

"Nggak, abis cari angin aja Pak!" sahutku yang baru saja sadar.

"Oh... Ketemu?" Bapak itu menoleh dengan senyum.

"Belum Pak." Aku langsung tertawa mendengarnya.

Ia sempat tertawa kecil mengikutiku, dan diam kembali lalu mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Tak ada kata lagi setelah itu. Suasana kembali hening. Nampak sebuah buku kecil berselimut kantong kresek, dibacanya tanpa suara. Lama aku memperhatikan, tak mau mengganggunya hingga minumanku habis. Tapi tiba-tiba mulut ini seperti bergerak sendiri.

"Baca apa Pak?" tanyaku penasaran.

Lama ia menanggapi, "Oh, ini Mas!" Dibaliknya buku itu ke arahku.

"Hmm." Aku hanya tersenyum mengangguk.

Aku Kehilangan kata, hatiku terenyuh rasanya. Melihat kembali tulisan yang sudah lama rasanya tak lagi kulihat sejak pikiranku tersesat. Ya, kitab pedoman manusia itu dibacanya dengan serius, meski mungkin dia tak tahu artinya. Dengan keterbatasan dan penampilan yang mungkin dijauhi kebanyakan pandangan, dia masih punya pedoman. Ke mana saja diriku ini, tanyaku pada hati yang sedang menahan sakit.

Aku terdiam cukup lama, melihat diriku yang rasanya kotor dan hina. Ia akhirnya berhenti, dan menoleh ke arahku.

"Kenapa Mas?"

Lihat selengkapnya