Setiap orang pasti akan mempertahankan sesuatu yang dianggapnya benar, dan sejak saat itu semua yang selama ini kuanggap benar ternyata salah. Apanya yang kebebasan, tak ada yang bebas di dunia ini, sebab dunia ini adalah penjara. Hidup tanpa aturan sudah lama kujalani, bahkan di pekerjaan diriku ini yang paling sulit diatur dan selalu seenaknya. Beruntung kita sama-sama membutuhkan, karena atasan yang sudah seperti teman membuatku masih dipertahankan.
Butuh waktu lama untuk orang sepertiku ini mencoba berubah. Menapaki lagi selangkah demi selangkah jalan yang sudah lama tak terlihat karena dibutakan dunia. Berbulan-bulan tubuh ini tersiksa karena dipaksa menjauh, dari apa yang dulu jadi kebutuhan, padahal benar-benar merugikan. Meniru gerak-gerik orang baik, atau kembali jadi anak kecil yang banyak bertanya. Sulit sekali rasanya meninggalkan sesuatu yang sudah jadi kebiasaan. Mungkin bagus kalau itu kebiasaan baik, sayangnya semua kebiasaanku adalah keburukan. Kalau bukan karena banyak kejadian yang membuatku melihat kebenaran, pastilah aku masih terjebak dalam gelapnya dunia tanpa cahaya.
Malam itu sepulang dari rumah Pak tua yang mengajarkanku banyak hal berharga yang harus diperjuangkan. Aku kembali dihantui mimpi. Seseorang itu datang lagi, memberi senyum meski dengan wajah yang masih samar. Setelah terbangun tak mampu lagi kuingat seperti apa. Siapa dia, apa maksud senyumnya itu, apa yang barusan terjadi adalah sesuatu yang harusnya terus kulakukan. Mungkin itu yang dia inginkan, tiba-tiba sebuah sesuatu menusuk ke hati begitu dalam.
Hingga kumantapkan hati untuk kembali, kepada siapa seharusnya kita kembali. Pemilik tubuh dan jiwa ini, pemilik dunia dengan segala misteri. Kalau bukan kepada Pencipta Bumi, kepada siapa lagi kusandarkan hati yang sudah lama kehilangan tempat berbakti. Dan dengan penuh dosa juga rasa takut, aku menghadap dan berharap. Hingga akhirnya kedamaian tumbuh perlahan-lahan, menjadi sepohon keyakinan dan tumpukan harapan yang tidak pernah mengecewakan.
Berusaha sendiri itu sulit. Tanpa kuberitahu teman-teman bahwa sudah mulai kutinggalkan apa yang dulu melekat padaku. Kami memang sudah lama bersama, tapi kami tumbuh dengan kesalahan, ikatan kami tak lebih kuat dari sekumpulan orang yang hanya saling kenal karena tersesat di tempat yang sama. Aku sengaja tak mengikatnya kuat-kuat, karena aku takut rasa sakitnya kehilangan itu terulang. Kini mulutku tak lagi berbau dan berasap, malamku kuhabiskan di rumah untuk belajar sadar dari kesalahan. Mencari lagi apa yang dulu terlewatkan. Puluhan pesan pertanyaan masuk memenuhi ponselku. Dan selalu kujawab dengan alasan sakit. "Sakit apa?" Tanya mereka. "Sakit Hati!" Singkat sekali. Padahal diriku sadar bahwa hati ini sudah lama mati.
*****
Seperti biasa kebutuhan yang menyeretku kembali ke tempat ini. Tapi tak apa, di sinilah kutemukan banyak ilmu tentang kopi dan makanan, yang dulu cuma jadi pertanyaan, kenapa bisa enak. Tentu masakan Ibu selalu jadi yang terbaik, dan aku tak bisa menandinginya. Tapi dari pekerjaan yang bisa terlibat dengan makanan dan minuman inilah, aku bisa mengobati hati yang rindu pada Ayahku yang suka kopi dan Ibuku yang gemar sekali memasak. Aku selalu ditaruh di dua tempat, sesuai keinginan atasan. Kalau sedang ramai di minuman, aku jadi barista, begitu juga sebaliknya. Maklum saja tempat ini kekurangan karyawan, juga pemasukan. Belakangan ini peminat makanan turun drastis. Suasana di kawasan ini makin hari makin sepi, ada juga yang sudah gulung tikar karena minimnya pendapatan. Itu membuatku merasa cemas kalau tempat ini juga akan tergulung.
"Syam... Kemaren ada cewek nyariin Lo di basecamp!" celetuk Bimo seketika.
"Siapa?"
"Siapa lagi."
"Bunga?"
"Tuh... Baru diomongin udah dateng orangnya."
"Hah?" Pandanganku beralih.
Nampak Bunga berjalan melewati pintu, lalu duduk tepat di kursi pojok sebelah kiri depan meja barista.
"Huh..." Nafasku berat. Aku melangkah ke pojok kanan menyembunyikan diri.
"Hai Mawar merah!" Bimo berlari menghampirinya dengan rayuan.
"Hai Bim!" ketus sekali.
"Ke mana aja lama nggak keliatan? Sampe kangen gue," celetuk Bimo.
"Basi...." Bunga memalingkan wajahnya.
"Nasi kali basi... Jadi mau pesen apa?" Bimo menyiapkan diri.
"Syam mana?" tanya Bunga berbelok.
"Mau pesen apa?"
"Syam mana?"