"Dek, badanku masih gak enak."
"Wah, iya, A. Masih panas," ujar Asri sambil menyentuhkan tangan di dahiku.
"Hari ini kita ke dokter, A."
"Gak usah. Sehari lagi juga sembuh."
"Dari kemarin Aa bilang gitu. Udah dua hari gak kerja, masih panas aja. Pokoknya hari ini kita ke dokter."
"Gak."
Aku melanjutkan tidur.
*****
Siang itu lamat-lamat kudengar Asri berbincang dengan ibu pemilik kontrakan di pintu kamar.
"Oalah, bukannya bilang dari kemarin. Ibu khawatir demam berdarah, Mbak. Sekarang lagi musim, lho. Kebetulan Bapak mau ke Majestik, kita sekalian aja ke rumah sakit. Mas Dedennya siapin dulu, ya, Bapaknya biar manasin mobil."
Asri lalu membangunkanku.
"A, hayu. Harus mau ke rumah sakit. Ibu udah siapin mobil."
Setengah sadar aku dipapah masuk mobil. Sepanjang perjalanan juga kesadaranku tak sepenuhnya pulih. Aku tak mendengar apa yang Asri bicarakan dengan Bapak dan Ibu pemilik kontrakan. Aku hanya ingat waktu dipapah lagi masuk rumah sakit.
*****
Selesai mengurus pendaftaran, kami dibawa ke lorong yang sudah penuh dengan jejeran tempat tidur. Rupanya karena ada wabah demam berdarah, ruang IGD penuh. Lorong itu digunakan sebagai ruang IGD tambahan. Aku dibaringkan di salah satu tempat tidur. Di samping kananku seorang anak tengah diinfus. Di samping kiri seorang paruh baya, juga diinfus.
Perawat cantik sigap mengambil sampel darah lalu memasang infus di tanganku.