"Udah atuh, A. Jangan diciumin aja. Kasihan anaknya jadi kebangun."
"Biarin, pokoknya kalau belum seratus kali cium pipinya aku belum akan pergi."
"Huu, ibunya mah cuma sekali."
"Dua, lah. Kiri dan kanan kan?"
Begitulah rutinitas Senin pagi. Dini hari tepatnya. Kami menumpang di rumah mertuaku. Di paviliun belakang rumah utama. Asri membangunkanku lalu menyiapkan sarapan dan kopi selagi aku mandi dan siap-siap. Sebelum pergi, aku ciumi pipi sang penyembuh sampai dia bangun.
Kami sebut dia demikian karena sejak ia datang berupa noktah di perut ibunya, Asri merasa dirinya sehat. Semua gejala yang ia rasakan ketika belum hamil, hilang begitu saja. Mual, muntah, sakit di perut, dan lain-lain yang selama ini merupakan indikasi adanya kista, bisa dibilang tak ada.
Mungkin juga karena sugesti. Saking senangnya mengandung, semua perhatian tertuju pada janin. Mungkin. Atau mungkin seperti yang dikatakan oleh dokter, setidaknya kistanya tidak berkembang, jika tidak menyusut atau hilang sama sekali.
*****
Cerewet, centil, cerdas, lucu, manja, sok tahu. Cantik. Rasanya tak sedetikpun waktu kulewatkan tanpa lintasan wajahnya di benak. Begitu pulang dari Jakarta, ia yang pertama kuburu. Kuciumi pipinya. Lagi. Dan lagi.
"Hey, mandi dulu! Kalau sudah mandi boleh cium seratus kali."
Aku lebih suka menciumi dia sepulang dari Jakarta dibanding menjelang pergi. Beda rasanya.
Ketika hendak pergi, ada perasaan sedih, tak ingin berpisah. Terbayang juga andai anak itu sudah bisa berpikir, besok lusa dia pun sedih karena tak melihat Bapaknya berhari-hari.