"Besok ke sini, Pak. Urusin administrasinya, aku mau pulang."
"Belum bisa mungkin, Bu. Kondisimu masih lemah. Dokter tak akan mengizinkan."
"Tadi dokter ke sini. Katanya aku boleh pulang, asal ada yang merawat di rumah. Bapak hari ini mampir ke rumah tetangga kita yang bidan, dia pernah bilang bersedia merawat Ibu. Besok kalian ke sini jemput Ibu."
"Oke, kalau begitu."
Aku masih tak yakin Asri boleh pulang. Kondisinya tak kunjung membaik sejak operasi bulan lalu, pembedahan ke - delapan? sembilan? - sekian sepanjang hidupnya.
Iya. Sejak menikah denganku, Asri sudah berkali-kali dioperasi, demi menyembuhkan penyakitnya. Operasi kali ini adalah yang ketiga kalinya dalam dua tahun.
*****
Persis setahun lalu, setelah operasi yang kesekian kalinya, Dokter memberi kabar buruk. Terburuk yang pernah aku dengar.
"Dari hasil Patology Anatomy terhadap sample yang kami ambil dari tubuh Ibu, Ibu positif mengidap kanker ovarium. Yang jadi perhatian saya adalah metastasenya. Artinya sudah menyebar jauh ke organ lain, Pak."
Tak ada geledek yang lebih kencang dan mengagetkan.
"Bapak bilang bulan April lalu Ibu dioperasi di rumah sakit lain. Saya harus tahu, apa hasil PA-nya? Saya curiga waktu itu pun sudah terdeteksi. Rasanya tidak mungkin penyebarannya separah ini kalau baru muncul."
"Kami tidak tahu, Dok."
"Kok tidak tahu?"
"Tidak ada yang memberitahu kami, Dok."
"Seharusnya rumah sakitnya memberikan hasil PA pascaoperasi, Pak. Kalau tidak memberi, Bapak yang minta!"
"Kami tidak mengerti, Dok. Seingat saya, selepas operasi itu kami tidak diberitahu apa-apa soal kanker. Sewaktu kontrol pun tidak ada informasi soal kanker."
"Pokoknya saya harus lihat hasil PA-nya. Sekarang Bapak minta ke rumah sakit itu. Kalau sudah dapat, kasih ke saya."
*****
Kami - aku dan kakak sulung Asri, duduk berhadapan dengan beberapa orang dokter di ruangan itu. Hasil PA dari rumah sakit lain sudah kami peroleh beberapa hari lalu dan sekarang sudah ada di tangan salah satu dokter.
"Dari hasil PA terbaru di rumah sakit kami, Ibu menderita kanker ovarium stadium lanjut yang sangat-sangat ganas." Aku mendengar penekanan pada kata sangat, sampai harus diulang.
"Setelah kami baca hasil PA pascaoperasi sebelumnya yang dilakukan enam bulan lalu, ternyata waktu itu memang sudah terdiagnosa tumor ovarium borderline. Artinya saat itu sudah berada di ambang batas antara jinak dan ganas. Seharusnya, pada saat itu Ibu sudah dikemoterapi."
Oh, batinku. Tapi .... Ah, sudahlah ...
"Selama enam bulan tanpa kemoterapi, maka wajar jika saat ini sudah berkembang menjadi ganas dan menyebar, Pak."
"Saat ini, kami menilai harapan untuk sembuh sangat tipis. Hampir bisa dibilang tidak ada. Kami persilakan jika Bapak hendak mencari pengobatan lain di luar rumah sakit kami."
Mereka menjelaskan panjang lebar. Hanya sedikit yang bisa kutangkap dan kupahami.
Kami terdiam sejenak. Aku berpandangan dengan kakak iparku. Dia tampak bingung. Dia tidak kami beritahu kabar buruk dari dokter sebelumnya. Selama ini kami bilang Asri baik-baik saja.
"Sementara kami abaikan soal operasi yang lalu, Dok. Saat ini kami fokus pada kata-kata 'harapannya tipis'. Kami, pihak keluarga ingin tahu, kalau pun ada harapan, setipis apapun, tindakan apa yang bisa dilakukan untuk istri saya?"
"Kemoterapi, Pak."
"Kalau dihitung dalam persentase, berapa persen kira-kira kemungkinan kemoterapi berhasil, Dok?"
"Jadi begini..."
"Dokter, sebutkan saja berapa persen??"
"Kecil sekali, Pak. Kira-kira sepuluh persen. Paling ... "
"Oke, Dok. Sekecil apapun peluangnya, sepanjang kami ada rezeki, dan Asri bersedia, kami ambil peluang itu."
"Jadi, maksud Bapak..."
"Iya, Dok, kami sepakat untuk melakukan kemoterapi untuk Asri. Di sini." Aku berkata dengan yakin, karena sebelumnya sudah kami bicarakan dengan Asri. Jika harus melanjutkan perawatan, ia hanya ingin dirawat di rumah sakit ini. Kemoterapi atau apapun namanya.