Setelah menghadapi berbagai macam seleksi selama kurang lebih satu bulan ini, akhirnya pengumuman siapa saja murid-murid SMA Mutiara Nusa yang berhasil lolos untuk bertarung di Jakarta nanti dirilis juga oleh pihak sekolah! Dan sujud syukur, aku berhasil lolos untuk mewakili sekolah di kategori Olimpiade Ekonomi. Dan tak diduga sebelumnya, aku lolos bersama Rico dari kelas sebelas IPS-1 di kategori ini. Untuk Olimpiade Sains ada Rina dari sebelas IPA-3 dan Syahrul dari sebelas IPA-1. Lalu untuk Olimpiade Matematika diwakili oleh Frans dari kelas sebelas IPA-1 dan Maya dari kelas sebelas IPS-2.
Mingu depan, kami semua akan bertarung bersama ratusan peserta lainnya di Jakarta. Memperebutkan peringkat tertinggi dan juga mengejar beasiswa sekolah untuk ke perguruan tinggi! Kesempatan yang tak akan aku sia-siakan begitu saja. Aku akan berjuang untuk mendapatkan beasiswa itu. Aku ingin seperti Kak Rangga, yang bisa kuliah di Universitas terbaik melalui jalur beasiswa prestasi! Aku akan membanggakan orang tuaku.
Hari yang dinantikan tiba. Jantung berdebar tak karuan. Merasa gugup untuk Olimpiade kali ini. Tapi jauh di dalam hatiku aku sangat siap! Kami berangkat bersama-sama dalam satu bus rombongan SMA Mutiara Nusa. Enam peserta Olimpiade, tiga orang guru penanggung jawab dan enam perwakilan murid yang sengaja dipilih untuk mendampingi kami. Arfandi termaksud dari ke-enam orang perwakilan murid. Dia nampak sangat berusaha untuk menenangkan aku yang kalau sedang gugup, pasti kakiku tak bisa berhenti diam!
Arfandi duduk di sebelah kiriku dalam bus. Dia terkekeh saat beberapa kali, kakiku tak bisa diam. Gemetar tak karuan. Lalu Arfandi memegang lutut kiriku itu sambil berkata, “Gak usah gugup!” ucapnya dengan pandangan yang jelas sekali bagai sedang berbincang dengan lututku. Aku hanya bisa tertawa geli melihat kelakuannya.
“Apaan sih!” ucapku. Senyum terpatri di wajahku walau sedikit. Membuat Arfandi lalu melirik ke arahku dengan lega.
“Sejati makin jelek kalau gugup!” katanya sambil terkekeh.
Aku langsung menepuk keningnya tanpa berkata. Lalu hanya bisa geleng-geleng kepala.
***
Setelah hampir empat jam perjalanan dari kota Bandung menuju Jakarta, akhirnya rombongan sekolahku tiba juga di tempat acara Olimpiade Nasional ini. Sudah begitu banyak pula orang-orang yang datang dari segala sekolah dan kota di Indonesia. Semuanya akan bersaing dengan segala wujud kemampuannya masing-masing.
Sepanjang perjalanan menuju ke area Olimpiade, aku tak sadar kalau genggaman tangan Arfandi tak begitu saja lepas dari tanganku. Mencoba terus-terusan menenangkan aku. Aku biasa saja, karena aku dan Arfandi memang sudah bersahabat sejak kecil. Namun, ada sepasang mata yang melihat kecut arti genggaman tangan kami.
“Bisa, gak usah gandengan?” suara itu terdengar jelas di telinga aku dan Arfandi. Membuat kami seketika itu juga melirik kecut ke arah sumber suara. Melihat orang itu, Arfandi tak serta merta langsung melepaskan genggamannya, dia malah makin menggenggam erat tanganku, dengan sengaja. Aku hanya bisa diam, tak berkata.
“Emangnya kenapa?” tanya Arfandi dengan sinis. Tak lupa tatapan mengejek dia perlihatkan juga di depan orang itu. Syahrul!
“Ini tempat umum. Emang pantes dua anak SMA gandengan tangan kaya gitu?” ucap Syahrul ketus. Pandangannya tak lepas begitu saja dari pemandangan genggaman Arfandi kepadaku.
“Terus arti gandengan tangan lo di televisi waktu itu apa? Bukannya lo juga masih anak SMA ya? Bukannya itu juga tempat umum?” Arfandi terus berusaha mengompor-ngompori Syahrul.
“Heh!” aku berusaha untuk membuat Arfandi tak bertindak kejauhan dengan terus memancing Syahrul. Aku sangat kenal betul, Syahrul sangat tidak suka diejek!
“Gue bilang lepas!” kali ini Syahrul makin geram. Aku tak mau kalau sampai mereka jadi bertengkar gara-gara hal yang tak penting ini. Aku pun melepaskan genggaman tangan Arfandi dengan harapan mereka tak akan lagi berdebat dan hanya cukup diam saja! Aku sudah kelewat gugup, tak mau ditambah dengan hal tak penting seperti ini.
“Sejati, kamu gak lupa kan apa yang aku bilang ke kamu waktu itu?” kali ini pandangan Syahrul tepat mengarah padaku dengan tajam. Ada asa yang aku lihat dari wajahnya, berharap aku tak melupakannya.
Aku masih suka kamu! Ucapan Syahrul itu jelas sekali masih aku ingat. Bahkan ucapannya tak bisa hilang begitu saja terngiang di otakku.
Glek! Aku hanya bisa menahan ludahku. Kegilaan macam apa ini? Kenapa dia malah mengatakan itu di saat-saat genting? Aku terus mencercau dalam hati. Tak lantas langsung menjawab perkataan Syahrul.
“Ayo masuk!” tiba-tiba tangan Rico langsung menyerbu ke arah tanganku. Menyeret aku dari lingkaran pertanyaan bodoh seorang Syahrul tadi. Meninggalkan Syahrul dan Arfandi yang kini hanya menatap kepergianku bersama Rico. Ah, apa aku harus bahagia karena aku bisa menghindari Syahrul? Atau aku kecewa, karena sampai detik ini, aku masih saja berdebar kala melihat Syahrul. Huh, aku hanya bisa menghela napas ku dengan berat. Berharap bisa secepatnya menghapus nama Syahrul dalam ingatan masa lalu.
***