“Gue mau ajakin lo nonton ke GBK!”
Ucapan dari Rico -sang rival- itu terus saja terngiang-ngiang hebat di kepalaku. Bagaimana bisa dia memiliki ide gila namun menantang seperti itu? Aku selalu menuliskan apa saja hal yang ingin bisa aku wujudkan di dunia ini. Di sebuah buku yang sengaja aku sampuli dengan sampul putih. Aku menuliskan apa saja yang aku ingin bisa capai dan kerjakan.
Dan aku tak bisa mengelak, kalau menonton BIF Club langsung ke Stadion Gelora Bung Karno, yang notabene-nya selalu dipakai sebagai home base dari tim Terresa, masuk ke dalam salah satu note yang aku tulis di buku itu. Kak Rangga sempat iseng, pernah tanpa permisi membaca bukuku. Dan langsung tertawa terbahak-bahak saat melihat keinginanku ingin menonton BIF Club langsung di GBK. Kata Kak Rangga, itu hal yang mustahil, selama kita masih terus berselisih paham tak jelas.
Apa aku harus mematahkan omongan Kak Rangga itu ya? Begitu pikiran konyolku. Aku terus saja kepikiran! Sumpah! Penjelasan dari guru-guru tak bisa dengan mudah masuk ke otakku. Materi hanya bisa masuk telinga kanan keluar telingi kiri. Ini sangat memuakkan! Beberapa kali aku juga terdengar menghela napas berat.
“Sejati?”
“Ya?” suara itu benar-benar mengagetkan aku yang tak menyangka sampai melamun ke bawah alam sadar! Ketika suara Bu Aini, guru Bahasa Indonesia, menegurku karena mungkin aku terlalu kentara sekali memperlihatkan kegelisahan.
“Kamu kenapa? Sakit?” seketika itu juga, lirikan dari teman-teman sekelas langsung mengarah kompak ke arahku. Membuat aku gugup setengah mati!
“Eh, anu bu, saya gak kenapa-kenapa kok!” ucapku.
“Beneran?” Arfandi langsung bangkit dari tempat duduknya yang ada tepat di meja depanku. Lalu menyerbu ke arahku. Dia langsung saja menyentuh keningku dengan punggung tangannya, untuk memastikan aku baik-baik saja.
“Cieeee,” seketika itu juga suara teman-teman menggoda kami. Sial, setelah satu tahun berlalu mereka berargumen mengenai isu tak benar, kenapa mereka masih saja mengira kami ada apa-apa? Padahal sangat jelas, aku dan Arfandi hanya sebatas teman dekat karena dari kecil sudah sering dipertemukan oleh orang tua kami. Mengingat orang tuaku dan orang tua Arfandi adalah sahabat satu komplek! Aku hanya bisa menghela napas, mendengar godaan usil mereka terdengar lagi hari ini setelah sekian lama.
“Jadi kapan nih diresmikan?” suara dari Eno, bersorak semakin menambah panas situasi. Diikuti dengan cercauan tak jelas teman-teman yang lain.
“Iya nih, udah cocok banget loh!”
“Nanti kalau jadian terus jodoh, awas aja jangan sampai nikah di Stadion. Bisa ngeri gue!” ucapan itu diikuti dengan tawa renyah teman-teman. Namun aku bisa melihat beberapa orang yang tak begitu menggubris godaan ‘receh’ mereka.
Tapi yang lebih jelas, adalah wajah Metta yang mengekspresikan wajah tak suka! Iya aku mengerti, dia adalah primadona sekolah yang terus memuja Arfandi, namun sahabatku yang satu itu sama sekali tak tertarik padanya sedikitpun. Iseng aku melirik ke arah bangku belakangku, dia nampak tak menggubris! Bahkan dia sedang tertidur, wajahnya tenggelam dibalik lipatan tangan.
Ada rasa lega juga. Eh tunggu, kenapa aku malah lega sih? Bodoh!
“Sudah, sudah! Jangan berisik!” Bu Aini mencoba menenangkan situasi. “Sejati, beneran kamu gak apa-apa?” tanya Bu Aini padaku sekali lagi.
“Sejati, you’re okay?” jelas sorot muka Arfandi memperlihatkan kecemasan. Aku menghela napas berat. Mungkin sudah beberapa kali.
“Ya, aku baik!” ucapku. Namun kenyataannya, aku sedang tidak baik-baik saja! Aku meraih ponsel di bawah mejaku. Mengetikkan kata demi kata,
Aku tunggu di atap di jam istirahat. Penting!
Lalu, aku mengirim pesan whatsapp itu pada seseorang yang sebenarnya duduk di meja belakangku. Rico Dewantara!
***
Di kantin sudah sangat ramai dengan siswa/siswi sekolah. Arfandi sedang sibuk mengobrol seru dengan teman-temannya. Tanpa adanya seorang Sejati yang biasa selalu bersama ke manapun dan di manapun. Tiba-tiba seseorang mendatanginya dengan mimik muka cemas.
“Sejati mana?” Arfandi menoleh ke arah orang itu. Merasa malas meladeni pertanyaan yang menurutnya tak penting. Dia lebih memilih untuk mengabaikan saja orang itu dan kembali fokus dengan obrolan bersama teman-temannya.
“Sejati mana?” orang itu kembali mengulangi lagi pertanyaannya. Kali ini dengan nada suara yang satu oktav lebih tinggi dari nada bicaranya tadi. Membuat Arfandi kesal!
“Lo kenapa?” Arfandi bangkit. Sambil menarik kerah kemeja seragam dari orang yang dianggapnya ‘gila’ itu. Syahrul! Yang tak lain adalah mantan pacar dari sahabatnya. Teman-teman yang lain melihat tingkah laku mereka mulai tak beres, segera berinisiatif untuk memisahkan mereka agar tak lagi membuat kekacauan.
“Gue tanya sekali lagi, Sejati mana?” ucapan Syahrul semakin meninggi nada bicaranya.
“Anj**g lo! Buat apa lo nyari dia, pecundang?” Arfandi dan Syahrul saling berhadapan satu sama lain. Menatap dengan tatapan tajam penuh dendam.
“Please, gue harus tahu dia di mana,” ucapan Syahrul kali ini mulai merendah. Dengan nada bicara yang agak bergetar. Menahan tangis! Arfandi juga nampak kebingungan saat dengan mata kepala dia sendiri, melihat mata Syahrul berkaca-kaca.
Kenapa dengan ‘si gila’ ini? Tanya Arfandi dalam hati. Keheranan.
“Lo beneran udah sakit jiwa?” ucap Arfandi. Wajah Syahrul menatap tajam ke mata Arfandi. Lalu selangkah demi selangkah, Syahrul mulai mendekati tubuh Arfandi. Dan dia membisikkan sesuatu di telinga Arfandi. Membuat Arfandi terbelalak setengah mati saat mendengarnya. Matanya mendadak hampir keluar. Mulutnya hanya mengaga bergetar dan tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar dari mulut seorang Syahrul.
Masih dengan berbisik, Syahrul kembali bertanya, “Di mana Sejati?”