Aku dan Arfandi jadi saling diam pasca pertengkaran kami tiga hari lalu. Entahlah aku merasa bersalah juga sudah marah-marah tak jelas pada sahabatku itu. Tapi aku melihat dia masih saja dongkol dalam hati. Huft, aku bingung aku harus bagaimana untuk menjelaskan pada dia, untuk meyakinkan kalau aku akan baik-baik saja nanti.
Sebenarnya ini semua salah orang gila itu! Orang yang tak mau lagi aku sebutkan namanya dalam hidupku. Aku kelewat kesal, dan terlalu terbawa perasaan kala harus berdebat dengan dia. Emosiku selalu sampai di batas ubun-ubun tiap kali berhadapan dengan dia, apalagi kalau dia sudah mengungkit masalah masa lalu. Aku sudah muak! Aku benci! Aku ingin menghilangkan semua kenangan indah itu. Atau kalau boleh jujur, kenangan itu terlalu indah sampai aku sulit untuk melupakannya hingga detik ini.
Di jam istirahat pertama, aku lebih memilih untuk tak menuju kantin. Aku sungguh ingin mengakhiri kesalahpahaman ini dengan Arfandi. Aku tak bermaksud untuk memusuhinya. Sungguh! Aku hanya terbawa perasaan saja gara-gara ada orang gila itu yang ikut berargumen juga ikut campur dalam urusanku.
“Lo gak ke kantin?” tanya Rico padaku.
“Males!”
“Lo belum makan loh, Sejati,” ucap Rico lagi. “Mau gue beliin makan di kantin?” Rico mencoba menawarkan bantuannya. Dan aku hanya bisa menggeleng lalu sibuk dengan buku-buku catatanku.
“Oke kalau gitu. Gue cabut ya. Bye!” ucap Rico lalu berlalu pergi dari hadapanku.
Aku menghela napas panjang. Suara perutku beberapa kali meronta meminta haknya. Argghh, sebenarnya aku sudah keroncongan sedari tadi. Tapi pikiranku mengenai Arfandi, membuat aku mati kutu! Aku ingin secepatnya meminta maaf pada dia. Jujur ini pertengkaran terlama kami selama kami bersahabat sedari kecil. Pertengkaran yang sangat menyiksa! Tapi aku bingung, aku harus memulainya dari mana?
Sepuluh menit berlalu, seseorang datang menghampiri mejaku. Dia menarik kursi di meja sebelahku lalu menempatkannya di pinggir meja belajarku. Aku melirik ke arah orang itu. Setelah aku melepaskan earphone yang terkait di telingaku. Dia menyodorkan semangkuk baso yang siap santap dan segelas jus alpukat. Lalu ada juga sepiring batagor dan sebotol air mineral dingin.
“Rico?”
“Gue tahu lo belum makan!” ucap Rico. Lalu dia segera menyantap batagornya dengan lahap. Aku tersenyum sumringah! Mataku berbinar dan aku merasa bersyukur karena Rico ternyata orangnya begitu peka akan masalahku.
“Thanks,” ucapku.
“Gak apa. Selow aja. Keadaan kantin juga lagi rame. Gue males di sana. Sumpek!”
Aku mengangguk tanda mengerti akan ucapannya.
“Lo lagi nyari cara buat baikan sama Fandi?” Rico mencoba membaca pikiranku. Dan dia sangat tepat 100%. Aku agak menohok sebentar, memberhentikan makanku. Lalu melanjutkan kembali aktivitas santap siangku.
“Kentara banget emangnya?” tanyaku. Rico mengangguk. “Seorang Sejati gak pernah diem-dieman selama ini sama dia. Jadi gak enak aja gitu.”
“Tenang aja. Nanti gue bantuin lo, ngomong sama Fandi.”
“Eh gak usah. Dia kan juga marah sama kamu.”
“Ya karena dia juga ikut-ikutan marah sama gue, jadi gue juga musti minta maaf sama dia. Walaupun ya, kita gak salah-salah amat sih!”
“Iya gue tahu. Dia kaya gitu, karena khawatir. Gue tahu dia udah lama banget!”