Pertandingan yang paling aku nanti-nantikan akhirnya tiba. Sekitar pukul lima pagi, aku, Arfandi dan Rico sudah berada di Stasiun utama Kota Bandung. Diantar Kak Rangga yang memaksa ingin mengantar keberangkatan kami walaupun hanya sebatas sampai Stasiun saja. Kami akhirnya mantap memilih jalur kereta api untuk menuju ke sana, ke Stasiun Gambir, Jakarta.
Saat menunggu kereta kami tiba, ada empat pandangan ekspresi berbeda di sana. Aku yang terlihat senang. Kak Rangga yang terlihat cemas. Arfandi yang terlihat santai. Dan Rico yang terlihat biasa-biasa saja! Yang menjadi wujud perhatianku adalah Kak Rangga yang benar-benar tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya itu. Aku sangat mengerti dan paham. Di sisi lain aku menjadi merasa bersalah pada Kakak kesayanganku. Demi aku, Kak Rangga rela memutar otak untuk mengelabui Mama Papa agar tujuanku ini berhasil. Dan entah bagaimana caranya, Kak Rangga berhasil!
“Kak Rangga jangan tegang dong, yang mau away kan aku. Bukan kakak,” ucapku terkekeh berusaha santai sambil menggenggam erat tangannya. Kak Rangga melihat ke arahku dengan tatapan sayu. Seperti tak ingin aku untuk berangkat. Lalu dia menghela napas berat dan geleng-geleng kepala.
“Kamu ini ya, bisa-bisanya senyum sama kakak di saat-saat genting kaya gini!”
“Genting? Lebay pisan! Ha ha ha.”
“Malah ketawa lagi! Tau ah!!” ucap Kak Rangga, ngambek. Dan aku hanya bisa terkekeh geli melihat ekspresinya yang menggemaskan itu.
“Aduhhhh, kesayangannya akuhhhh ini, jangan cemberut aja dong!” aku mencubit gemas kedua pipi Kak Rangga. Dan Kak Rangga hanya bisa mengaduh kesakitan. Arfandi dan Rico terkekeh melihat tingkah lakuku.
“Kak Rangga tenang aja. Dia sepenuhnya aku jaga,” ucap Arfandi berusaha menenangkan Kak Rangga.
“Iya, bang, tenang aja. Di sana banyak temen-temen aku kok!” Rico juga berusaha keras menenangkan Kak Rangga. Dan lagi-lagi kak Rangga hanya bisa menghela napas berat.
“Iya deh, percaya. Pokoknya awas ya kalau adek gue kenapa-kenapa yang gue cari duluan kalian berdua!”
“Siapppp!” ucap Arfandi dan Rico bersamaan.
***
Kami sampai di Stasiun Gambir setelah tiga jam perjalanan. Lelah dan cukup menguras energi. Suasana Stasiun cukup ramai. Mungkin juga karena hari ini masuk ke weekend. Aku melenggang dengan semangat. Arfandi hanya geleng-geleng kepala sambil sesekali mengingatkan aku untuk tetap waspada. Sedangkan Rico asik senyum-senyum sendiri. Oke baiklah, sepertinya aku memalukan mereka sekarang. Dan akupun berusaha untuk bersikap lebih natural lagi.
Tujuan kami tidak langsung ke Stadion Gelora Bung Karno, tapi menuju ke markas besar teman-teman se-komunitas Rico terlebih dahulu yang home base-nya bisa dibilang cukup dekat dengan area Stadion GBK. Ada sedikit rasa deg-deg-an kala untuk pertama kalinya, aku mamasuki markas besar suporter Terresa FC. Mungkin perasaan itu bukan hanya dirasakan olehku saja, tapi juga oleh Arfandi.
Di sana aku dan Arfandi diperkenalkan dengan ramah kepada teman-temannya Rico. Daebak, tak disangka mereka welcome sekali. Padahal mereka tahu, kami itu Suporter BIF Club. Mereka bilang gak masalah, karena mereka ingin mengubah gaya berivalitas yang sudah mulai kelewat batas dan tak berujung. Aku tersenyum, ternyata bukan hanya aku saja yang berpikiran seperti itu. Syukurlah!
Berivalitas sehat hanya bisa dilakukan oleh mereka yang memiliki cinta yang kuat untuk klub. Yang peduli dan tentunya berhati nurani dan berotak sehat. Semua orang cinta klub, tapi hanya sebatas mencintai tak pernah memikirkan atau berusaha untuk melakukan andil baik untuk klub yang dibelanya. Semua orang peduli, tapi tak terlalu banyak yang mengerti bahwa peduli bukan hanya untuk klub atau sesama suporter satu bendera saja, tapi juga untuk sesama insan manusia. Semua orang memiliki hati nurani, tapi kadang kala nurani itu hilang karena nama kebencian tak berujung. Semua orang memiliki otak, tapi sangat jarang digunakan oleh akal dan pikiran jernih.
Intinya semua orang (sebenarnya) mampu untuk melakukan semua itu, tapi hanya sedikit orang yang mau berusaha untuk mewujudkannya.
Canggung! Itulah kata yang paling tepat untuk menggambarkan bagaimana ekspresi aku dan Arfandi. Kami memilih untuk bungkam dan terus menunduk ke arah ponsel masing-masing. Tak berusaha masuk ke dalam perbincangan mereka. Sampai satu pesan masuk ke layar ponselku.
Canggung nichhhh
Itu adalah pesan dari Arfandi. Aku terkekeh, karena dia bahkan sekarang masih duduk di sampingku. Aku kemudian langsung membalas pesan itu.
Eh yg lebih canggung ha ha ha
Ha ha ha, apalan
Kita gimana nih? Masa diem-dieman
Jgn diam aja, berat, kamu gak akan kuat, biar aku saja! Ha ha ha