Suara riuh anak-anak kelas sebelas IPS-1 menggema saat jam kedua pelajaran sosiologi kosong. Pak Djoko, guru Sosiologi di kelasku, mendadak tak bisa hadir karena ada suatu keperluan mendadak. Kami diberi tugas merangkum Bab tiga, pembahasan mengenai perbedaan, kesetaraan dan harmonisasi sosial. Cukup tiga puluh menit saja bagi kami untuk menyelesaikan tugas itu. Selebihnya kami isi dengan perbincangan masing-masing.
“Gimana? Kamu udah izin?” tanya Arfandi di sela-sela jam pelajaran kosong. Menengok ke arah belakang untuk sekadar mengobrol denganku. Kursinya memang tepat berada di depan mejaku.
Arfandi Hadi Jiliansyah adalah sahabatku dari zamannya kami masih SD. Dia bahkan sudah kenal dekat dengan keluargaku. Sewaktu SMP, sekolah kita berbeda karena dia terpaksa harus sekolah di Surabaya, mengikuti orang tuanya yang punya keperluan bisnis. Kemudian tiga tahun berselang setelah lulus SMP, dia kembali lagi ke Bandung dan ikut memilih sekolah yang sama denganku. Sebenarnya dia sudah diterima di salah satu sekolah menengah atas negeri, tapi dia malah berbelok ikut-ikut denganku masuk sekolah swasta. Entahlah apa maksudnya. Oh iya, dia juga sama sepertiku. Seorang Suporter BIF Club!
Sebenarnya aku juga sempat diterima di salah satu sekolah negeri favorit. Jarak sekolahnya pun tak terlalu jauh dari rumahku. Tapi ada sekolah swasta yang jaraknya lebih dekat lagi. Aku tipikal orang yang tak pernah memandang bagus atau tidaknya sesuatu hanya dari cerita orang. Bagiku mau itu sekolah negeri atau swasta sama saja. Sama-sama belajar dan menuntut ilmu! Tentang bagaimana hasilnya nanti, itu terserah masing-masing orang dalam mencerna setiap pelajaran yang diberikan. Karena bagiku, semua guru itu hebat dan berjasa serta berpengaruh besar dalam mengajari setiap muridnya menjadi pintar dan berguna.
“Tahu deh, masih abu-abu!” aku menjawab dengan malas. “Aku pengen banget ikut ke sana, tapi ya... Mama Papa pasti gak ngizinin. Ngerti mereun kamu juga!”
“Ya sudah gak usah dipaksakan. Nanti juga ada saatnya tiba. Semangat.” Arfandi mencoba menyemangatiku.
“Atau apa perlu aku yang minta izin? Kali aja kamu kebelet pengen banget ke sana. Ikut tour away gitu. He he he,” ucap Arfandi menawariku jalan tengah sambil terkekeh. Alisnya yang tipis itu dia angkat-angkat bak orang yang sedang angkat besi di tempat fitnes. Biar ku beri penjelasan sedikit, tour away itu maksudnya nonton sepak bola di luar kota tempat kita tinggal.