Sudah setengah jam berlalu aku hanya bisa bolak-balik, mondar-mandir di sekitaran tempat tidur kamarku. Ada kegelisahan dan keinginan yang kuat yang berkecambuk, bercampur menjadi satu di kepala. Bagaimana bilangnya? Bagaimana caraku supaya izin itu keluar? Waktunya tinggal delapan hari lagi, tapi keputusanku masih menggantung!
Ah, sudahlah! Aku kemudian duduk di atas samping kanan tempat tidurku. Berulang kali aku menggigit bibir bawahku sendiri, merasa kehabisan kata-kata untuk bisa berbicara dengan Mama dan Papa. Sedetik kemudian aku bangkit lagi dari duduk, mondar-mandir tak jelas lagi. Sampai suara Mama membuatku menghentikan segalanya.
“Sejati! Makan dulu!” Mama memanggil namaku.
“Iya, Mah!” Aku buru-buru keluar kamar dan bergegas menuju ruang makan.
“Halo Pah, Mah, Kak Rangga.” Aku menyapa semua anggota keluargaku. Lalu duduk menghadap meja yang di atasnya sudah banyak terhias dengan berbagai macam makanan. Membuatku yang awalnya tidak merasa lapar mendadak ingin segera menyantapnya.
“Berdoa dulu! Kebiasaan!” ucap Kak Rangga mengingatkan aku. Aku mengangguk sambil menengadahkan tangan, mencoba berdoa dalam hati, sebelum memulai makan malam. Setelah selesai, aku mengusapkan tanganku ke wajah. Sebagai bentuk pengharapan, semoga doaku di ijabah.
“Gimana kuliah kamu, Rangga?” tanya Mama di sela-sela makan malam kami.
“Lancar Mah, ya, tugas-tugas sedikit wajar kali ya!” jawab kak Rangga.
“Kuliah jangan terlalu di jadikan beban, nanti malah stres lagi. Enjoy aja tapi serius,” ucap Papa menyemangati, sambil menepuk halus punggung Kak Rangga.
“Siap, Dad,” ucap Kak Rangga dengan senyuman yang jelas sekali terpancar di wajahnya.
“Heh, kenapa Sejati?” ucap Kak Rangga yang tiba-tiba membunyarkan lamunanku. Sepertinya Kak Rangga menyadari kalau aku dari tadi diam saja tanpa bersuara. Ya, karena apa lagi kalau bukan gara-gara pikiran yang membuatku galau dalam beberapa hari terakhir ini.
“Emmm, anu, Pah, Mah?” aku mulai bersuara. Pandangan Mama, Papa dan Kak Rangga langsung mengarah padaku. “Aku mau minta izin!”
“Izin? Mau ke mana?” tanya Papa. Tangannya sibuk mengangkat suapan demi suapan menuju ke arah mulutnya.
Glek! Aku menelan ludah sambil menghela napas. Aku sudah yakin, aku akan meminta izin dulu pada mereka, dan mengutarakan apa niatku malam ini.
“Ehem,” aku mendahem. “Aku pengen away!”
“Uhuk, uhuk,” seketika itu Kak Rangga yang sedang meneguk air minumnya langsung tersedak. Pandangannya langsung mengarah tajam pada kedua bola mataku. “Away? Nonton keluar Bandung gitu? Jangan gila Sejati!” ucap Kak Rangga merasa terkejut dengan ucapanku tadi. Tuh kan! Pasti ini mah bakal debat deh! Bisikku dalam hati. Memulai ancang-ancang. Mengambil napas.
“Gila? Kenapa? Bukannya gak aneh ya, kalau suporter pengen ikutan mengawal tim sepak bola favoritnya keluar kandang?” aku mencoba mengutarakan pendapatku.
“Maksud kaka, belum saatnya!”
“Terus kapan? Kapan saatnya itu akan tiba buat aku?”