“Sejati!” teriak Rico dari kejauhan, memanggil aku yang sedang melangkah bersama Arfandi menuju ke kantin. Pandanganku dan Arfandi seketika itu juga langsung melirik ke belakang, melirik ke arahnya.
“Ishhh!” Aku menggerutu pelan.
“Kunaon?” tanya Arfandi melirik kecil kepadaku.
“Gak apa-apa, ayo ah!” aku mengajak Arfandi untuk mengabaikan saja dia. Tapi aku merasakan Rico masih mengejarku. Sampai pada akhirnya, dia sudah berada saja di sampingku. Berjalan menyelaraskan langkahnya dengan langkahku. Aku hanya melirik kecil kepadanya yang kini berjalan tepat di sebelah kananku.
“Eh, gue kan belum terlalu ngerti bahasa sunda. Jadi kelompok bahasa sunda, gue sama lo ya? Ya, ya, ya!” ucapnya memohon dengan nada memaksa.
“Ogah! Aku udah sama Arfandi!” aku memutar bola mataku, kesal sekali, karena dia sangat berlaku sok kenal dekat denganku.
“Eh. Gak apa-apa, kan maksimal kelompok tiga orang!” ucap Arfandi yang ucapannya tiba-tiba menyambar di antara kami. Aku hanya melirik kesal pada Arfandi karena dia tak mengerti maksudku bahwa aku tak mau sekelompok dengannya. “Lagian kasihan kan, Rico belum terlalu ngerti juga tugas ini.”
“Nah, itu maksud gue!” ucap Rico merasa senang karena mendengar ada Arfandi yang menekankan permohonannya.
“Huh!” aku menghela napas. “Tugasnya kan gampang! Kamu tinggal jalan-jalan sekitaran kota Bandung, terus kalau lihat nama jalan yang ada aksara sundanya, kamu tinggal foto. Terus print deh!”
“Tapi kan, gue belum tahu sekitaran Bandung. Lagian Arfandi udah setuju kan.”
“Ah, terserah deh!” aku menyerah tak bisa lagi mengelak.
“Yes, nah gitu dong! Hatur nuhun!” ucapnya berseru girang sambil mengucapkan kata ‘Hatur nuhun’ yang berarti terimakasih. Tiba-tiba juga, tangannya tanpa permisi langsung merangkul leherku.
“Mau di geplak nih?” aku melihat kecut ke arah Rico. Sambil mengangkat tanganku yang seperti siap untuk memukulnya. Karena merasa risi juga dengan lingkaran tangan Rico yang mengait di bahuku.
“Eh, sorry!” seketika itu dia langsung melepaskan rangkulan tangan itu sambil tersenyum lebar sampai deretan giginya kelihatan.
“Dasar!” aku mengibas-ngibaskan tanganku pada bahu secara bergantian. Menggeleng-gelengkan kepalaku, melihat kelakuan ‘tak sopan’ Rico tadi. Kemudian langsung berlalu dari hadapannya. Arfandi hanya terkekeh melihatku yang sedang kesal, lalu menepuk-nepuk punggung Rico.
“Sorry, bro. Dia orangnya emang sensitif-an! Apalagi kalau...”
“Arfandi!” aku lantas memotong kata-katanya, berteriak dari kejauhan karena jarakku dengan mereka sudah berbeda beberapa langkah.
“Gue, ke sana dulu!” ucap Arfandi kemudian segera mendekat ke arahku yang sudah sibuk memilih makanan apa yang akan aku makan di jam istirahat pelajaran kali ini. Sepintas aku melirik kecil ke arah Rico yang kali ini sedang sibuk mengobrol dengan anak-anak lain di salah satu meja kantin.
Aku melihat dia orangnya supel, gampang akrab! Orangnya juga percaya diri tingkat tinggi. Tapi jujur aku sangat kesal, karena satu minggu sudah dia sekolah di sini, tapi dia tetap saja tak henti-hentinya menggangguku. Aku tak mengerti apa yang ingin dia capai dengan mendekatiku. Padahal, dia juga termaksud orang yang cepat beradaptasi dan langsung banyak teman.
Gubrak!