Aku menghela napas panjang. Aroma melati yang menenangkan tidak juga mampu meredakan keteganganku. Ini kamar pengantinku. Dengan bed cover biru dan kelambu bak awan pucat. Lampu-lampu yang ditata menyerupai bulan dan gemintang langit. Lilin aroma terapi. Hiasan-hiasan merah dan pink. Namun, apa perlunya semua ini sekarang?
Aku pura-pura telah tertidur ketika Nathan membuka pintu kamar dan memanggil, mengatakan bahwa tiga temannya akan berpamitan kepadaku. Ketika dia kembali menutup pintu, aku mendengar tawa teman-temannya di luar sana. Lalu, terdengar suara mesin mobil menyala dan deru laju mobil itu menjauh.
Tiga orang teman Nathan tadi masih bertahan di ruang tamu setelah para pengantar pengantin lainnya pulang. Mereka—para laki-laki itu—berbicara dan bercanda sedikit jorok. Membuatku jengah hingga masuk kamar dan tidak lagi keluar, bahkan ketika kudengar mereka akhirnya berpamitan.
Akan tetapi, mungkin juga bukan itu alasanku memilih meringkuk di sini—alih-alih menemui tamu.
Sekarang di rumah ini tinggal aku dan Nathan. Tadi pagi kami telah melakukan upacara pernikahan sekaligus resepsi di ballroom hotel yang kami sewa. Kami menolak tawaran menginap di suite room hotel. Dan, malam harinya kami pindah rumah, sekaligus berbulan madu di rumah baru—rumah yang Nathan beli sebagai mas kawin pernikahan kami. Sebuah rumah bergaya minimalis dengan taman luas di depannya, sebuah kolam berair jernih dan beberapa bunga teratai mengapung di atasnya.
“Aku sangat menyukainya, Nat,” begitu kataku ketika kali pertama Nathan menunjukkan rumah ini. “Aku siap tinggal di sini bersamamu.”
Akan tetapi, tidak setelah semua hal yang terjadi berikutnya. Karena, kemudian aku sadar telah melakukan kesalahan besar dengan pernikahan ini.
Kutengok sekilas jam dinding yang menunjukkan pukul 23.20. Aku nyaris tidak mendengar detak detiknya karena kurasa detak jantungku menggema lebih keras. Ketakutan yang menelingkup sejak mula mendera hebat, membuatku menggigil.
Aku tidak ingin melakukannya.
Akan tetapi, Nathan pasti akan melakukannya.
Aku masih memejamkan mata ketika telingaku mendengar bunyi pintu dibuka. Berharap laki-laki itu menyangkaku telah tertidur, aku berusaha mengatur napas setenang mungkin. Namun, siapa yang bisa bernapas dengan tenang dan teratur ketika kecemasan dan ketakutan berkelindan menjadi bola kengerian yang membesar dan menyesakkan dada?
Lewat celah kelopak mata yang menyipit tipis, kulihat Nathan mengganti lampu kamar dengan lampu tidur yang menyala redup. Dan, hidungku mencium aroma wangi rempah dan wood begitu dekat—aroma yang menguar dari tubuh Nathan, parfum kesukaannya. Merasakan sentuhan lembut di tanganku, aku mengejang.
“Kau sudah tidur, Charista?” dia bertanya, dengan belaian mengusap kepalaku. Aku berusaha meredakan kecamuk pikiran di benakku. Kecamuk yang—bukannya mereda—justru semakin memuting beliung dan membuatku terkapar tanpa bisa menyahut pertanyaan Nathan selain keterdiaman.
Nathan mendekat. Aku menahan napas dan mencengkeram ujung bantalku. Udara di sekitarku membeku.
“Malam belum terlalu larut …,” ujarnya sedikit bergetar. Tubuhku rasanya kian menggigil. Otakku bebal memikirkan apa yang sebaiknya kulakukan saat ini.
Ini malam pertama kami. Namun, siapa wanita yang bisa menerima sentuhan ketika hati dan pikirannya diayun kegalauan? Kurasa tidak ada. Karena, setiap wanita memiliki hati dan hasrat yang tidak bisa dipisahkan. Yang tidak bisa saling bertentangan.
Tidak. Aku tidak bisa. Sekonyong aku mendorong tubuh Nathan. Lalu, aku beringsut menyudut dan bersandar pada dinding tanpa memedulikan pandangan aneh Nathan dan pancaran redup matanya yang serasa berganti tanya tak terucap.
Aku menghela napas. “Aku … aku tidak bisa, Nat,” suaraku pasrah, gemetar, dan basah oleh air mata yang meluruh.
Nathan memandangku seolah aku wanita asing yang baru ditemuinya.
“Kenapa, Ta?” dia bertanya.
Inilah saat bom waktu itu seharusnya meledak. Namun, aku tidak berani. Aku belum bisa mengungkapkan apa yang kusembunyikan darinya. Aku masih mencemaskan apa yang akan terjadi jika bom itu meledak.