Setahunan lalu, aku merasa Nathan adalah laki-laki sempurna untuk menjadi suamiku. Tepatnya, pagi hari itu setelah terbitnya edisi “Pertaruhan Pernikahan” majalah Gloria—tempat aku bekerja sebagai pemimpin redaksinya.
Setahunan lalu pula, aku meyakini diri untuk move on dari kenangan cinta remaja yang masih saja menghantui meski telah berbilang tahun berlalu. Rasanya, hari itu adalah kali pertama aku tidak ingin tahu apa yang terjadi dengan Farel—dan mengabaikan semua kabarnya di media online.
Seperti biasa, yang kali pertama kukerjakan setiap pagi adalah membuka surel redaksional. Memilah-milah mana yang perlu kubalas langsung dan mana yang bagus untuk dimuat di rubrik “Surat Pembaca”. Tidak ada yang sulit kulakukan, kecuali pada sebuah surat dari seorang wanita bernama Via.
Dear Charista,
Ini tentang artikel-artikel Gloria pada edisi “Pertaruhan Pernikahan” lalu. Mungkin mudah sekali memberi saran jika kalian bukan orang yang telah kehilangan keperawanan dan akan menghadapi pertaruhan pernikahan. Tapi, bagiku, saran-saran di edisi ini hanyalah pengharapan semu karena bagaimanapun kita tidak bisa meyakini bagaimana reaksi laki-laki itu sesungguhnya. Kita hanya bisa menduga. Dan, itu tetap saja mengerikan.
Aku menahan napas dan merasakan aroma penuntutan. Ulasan majalah Gloria edisi itu sebenarnya berfokus pada pernikahan, tetapi juga memuat sebuah artikel tentang ketidakperawanan sebelum menikah. Artikel yang sempat membuat rapat redaksi menegang—bagaimanapun masalah keperawanan sangat riskan dibahas.
“Tapi, ini kepingan yang harus ada dalam isu kita, Ta,” kata Mira, editor senior. Aku mengangguk—lebih lambat daripada biasanya jika menyetujui sebuah pernyataan.
Setelah serangkaian diskusi, akhirnya aku menyetujui artikel itu. Mira memberi judul dengan sangat tepat: “Kartu Buruk dalam Pernikahan”. Ini tentang bagaimana seorang wanita yang sudah tidak perawan menghadapi rencana pernikahannya.
Gagasan mengangkat topik ini awalnya berasal dari beberapa buah surat yang masuk di rubrik “Konsultasi” yang mempertanyakan bagaimana sebaiknya menghadapi pernikahan dengan kondisi tidak perawan, apakah sebaiknya mengatakan kebenaran sejak awal atau tidak memberitahukannya.
“Konteksnya bukan kita mendukung seks sebelum nikah, melainkan menyadari sebuah kesalahan telah terjadi dan mereka layak untuk dicintai dan dinikahi dengan benar.” Pernyataan Mira membuatku berpikir dia benar.
“Bagaimana jika itu bukan kesalahan, melainkan sebuah pilihan?” tanya Vaya.
“Untuk sebagian wanita, mungkin bisa begitu. Untuk sebagian yang lain, tidak. Tanpa perlu menghakimi atau menghujat, dan bukan tentang benar atau salah. Virginity is behold on their eyes. Dan, haluan redaksional majalah Gloria jelas, kita membicarakan wanita yang menyesal dengan kejadian itu dan menganggapnya sebagai kesalahan masa lalu. Bukan sebagai pilihan yang dibanggakan.”