Sejujurnya Aku...

Bentang Pustaka
Chapter #3

Tiga

Jawaban itu untuk Via. Namun, sesungguhnya itu adalah jawaban untuk diriku sendiri karena selama ini pun aku menyimpan ketakutan dalam alam bawah sadarku. Ketakutan yang selalu kuabaikan dan berusaha meyakini bahwa—sebagaimana artikel yang ditulis Mira di Gloria—tidak semua laki-laki akan menilai seorang wanita semata dari keperawanannya.

Akan tetapi, keyakinan itu hancur berkeping-keping setelah sebuah polling untuk mengulik ketakutan bawah sadar itu mengeluarkan hasil. Sebuah polling yang diadakan Gloria untuk mendapatkan umpan balik dari kaum Adam.

Ada aturan bahwa membuat polling di Gloria harus bisa dipertanggungjawabkan. Hasilnya, 77% responden laki-laki menganggap calon istri tidak perawan sebagai sesuatu yang mengecewakan. Dan, ini merupakan bukti bahwa semodern apa pun negeri ini, para lelakinya masih mengharapkan seorang wanita yang menjaga keperawanan—dalam arti belum pernah melakukan hubungan seksual—sebagai syarat seorang istri. Meskipun 91% responden bisa menerima wanita korban perkosaan sebagai pengecualian.

Itu kenyataan buruk. Setidaknya, ada 23% laki-laki yang tidak mempermasalahkan keperawanan calon istrinya. Ironisnya, lebih dari separuhnya adalah laki-laki yang menganggap seks pra-nikah adalah sesuatu yang wajar.

Aku tidak menginginkan laki-laki semacam itu untuk menjadi suamiku kelak. Aku pikir, laki-laki semacam itu hanya menginginkan tubuhku. Bagaimana aku bisa yakin dia akan selamanya menginginkanku jika usia telah menelan keelokan tubuh?

Bahkan, Nadia, yang meng-handle rubrik “Men Said”—rubrik yang meminta komentar dari laki-laki untuk isu tertentu—hanya mendapatkan satu orang yang berkomentar positif tentang hal ini dan empat lainnya negatif. Hal itu nyaris membuatku semakin meyakini bahwa pilihan terbaik bagiku adalah menunggu Farel menyadari jejak yang dia tinggalkan dalam hidupku, dan kembali untuk merajut cinta yang lalu.

Kenyataan ini melemparkanku dalam keraguan akan impian pernikahan Cinderella-ku. Namun, setidaknya laki-laki ini—Nathan Abimanyu—memberiku harapan bahwa masih ada kemungkinan mendapatkan pernikahan Cinderella-ku tanpa harus menunggu Farel.

Well, aku tidak menilai wanita dari virginitasnya semata. Yang penting saling mencintai dan semua akan baik-baik saja.

Begitu komentar Nathan yang dimuat di rubrik “Men Said”. Aku menyukai komentar itu. Bahkan, rasanya komentar itu seperti siraman hujan pada kemarau panjang.

Aku melihat fotonya—rahang kukuh membingkai sepasang mata tajam dengan alis tebal yang naik di ujungnya. Hidungnya seperti paruh rajawali dan berbibir penuh. Sebuah perpaduan sensualitas dan keangkuhan. Lebih dari itu, keterangan bahwa dia lajang dan seorang Marketing Manager GOLDIES membuatku menyukai sosok itu. Bahkan, aku merasakan gelenyar nadi ketika memikirkan sebuah kemungkinan yang melintas di kepala.

Aku menginginkannya. Karena aku mempunyai kartu buruk dan tetap ingin bertaruh, dan tidak ingin mengalami kekalahan, satu jalan yang kupikir bisa kulakukan adalah memastikan bahwa aku mengetahui apa kartu lawan. Nathan adalah orang yang tepat. Bukannya aku menganggap itu akan mudah. Bahkan, setelah mendapatkan salinan artikel dari Vaya—desk editor rubrik “Romance and Relationship”—tentang tips and trick mendekati pria idaman, aku ragu akan bisa melakukannya. Barangkali harus kuakui, semua tip tentang hal ini hanya mudah dikatakan, tetapi tidak untuk dilakukan.

Aku memang lama tidak berkencan, bahkan sudah tidak ingat berapa lama.

Barangkali aku sudah enggan menghadapi ketidakpastian mereka. Atau, barangkali karena selama ini laki-laki yang berkencan denganku justru melemparkanku pada kenyataan pahit.

Bahkan, aku sempat berpikir tidak akan pernah menikah selamanya.

Tentu saja itu tidak mungkin karena aku satu-satunya anak perempuan Mama. Beliau selalu saja mengingatkan usiaku yang semakin tua—dan selalu pula beriringan dengan kematiannya kelak, seolah aku adalah sandungan yang akan menghalanginya masuk surga jika tidak menikah.

“Mama ingin memastikan kau bersama pria yang tepat sebelum Mama meninggal,” katanya.

Laki-laki yang tepat bagi Mama adalah seorang laki-laki mapan yang bisa menjamin masa depan. Bagiku, tentu saja berbeda. Laki-laki yang tepat adalah laki-laki yang bisa menerima keadaanku ini sehingga aku tidak perlu menghadapi pernikahan sebeku salju atau sepanas bara. Tentu saja Mama tidak tahu itu.

“Aku sudah punya pria yang tepat, Ma,” sahutku, menunjuk Roland dengan dagu. “Roland bisa selalu menjagaku, bukan?”

“Sayang, pada saatnya Roland akan kawin lagi,” tepis Mama. “Dia tidak akan menjagamu selamanya.”

“Tidak mungkin, Ma. Deisa cinta terakhir dan selamanya bagi Roland.” Aku meyakinkannya, tetapi Roland tidak. Dia justru tertawa mendengar perkataanku.

“Ya, Tuhan! Kau masih mengingat raungan putus asa itu?” seru kakak sulungku itu. Seolah sebuah hal yang ajaib jika aku mengingat bagaimana sejak kematian istrinya itu, Roland seperti laki-laki yang kehilangan seluruh hidupnya—bukan semata kehilangan seorang istri dan sebuah kakinya yang terpaksa diamputasi.

Itu lima tahun lalu. “Memangnya telah berubah?” cetusku, tidak percaya.

“Ya. Aku masih punya episode di dunia, dan Deisa menunggu kelanjutan pernikahan kami di surga. Aku akan menikah dengan wanita lain dan kupikir dia tidak berkeberatan kelak aku mempunyai dua bidadari di surga,” sahut Roland.

Mama menyunggingkan senyum kemenangan.

Jadi, bagaimana mungkin aku tidak menikah?

Rubrik “Men Said” itulah awal mula aku menginginkan Nathan dalam suatu rencana yang berujung pada pernikahan. Sekarang aku telah mendapatkannya meskipun jalan yang terjadi benar-benar bukan seperti yang kupikirkan dari awalnya. Dan, akhir yang terjadi barangkali juga bukan seperti yang kuharapkan.

Nyatanya, Farel masih saja menjadi hantu dalam hidupku.

Mama pulang sebelum tengah hari dijemput sopir pribadi keluarga kami. Namun, beliau masih sempat membantuku memeriksa isi kulkas dan lemari bumbu dapur, menyarankan apa saja yang sebaiknya aku simpan di sana, seolah aku yang telah mengisi kulkas itu. Padahal, aku sama sekali tidak pernah berpikir apa yang harus aku sediakan di situ ketika hendak menempati rumah ini. Pikiranku sibuk dengan hal-hal lain yang lebih penting dan menyesaki semua ruang di kepalaku.

Syukurlah Mama tidak memaksaku masak untuk makan siang—karena aku sedang masuk angin—dan menyarankan Nathan memesan makan siang take away dari restoran favoritnya. Aku tahu menu apa saja yang ada di sana, tetapi yang pasti tidak akan ada jenis fastfood apa pun, makanannya direbus atau dipanggang—tidak ada yang digoreng, dan menu yang dia sarankan adalah semacam ikan rebus dengan kuah beraroma rempah dan sayuran mentah di atasnya.

“Menu mereka bagus untuk pencernaan,” kata Mama.

Tentu saja, tetapi tidak bagus untuk membangkitkan selera makanku. Untunglah Nathan hanya mengiyakan, tetapi tidak melakukan. Setelah Mama pulang, Nathan kini memandangku canggung. “Kau ingin aku pesan makan atau mau kumasakkan sesuatu?” tanyanya.

Nasi goreng tadi sebenarnya enak—tetapi aku ragu apakah dia benar-benar memasaknya atau membelinya. Kalaupun memang dia memasaknya, belum tentu masakan lainnya bisa kumakan.

“Kita makan di luar saja,” sahutku. Aku merasa butuh tempat yang nyaman untuk menyegarkan suasana.

Nathan membawaku ke Restoran Omah Bebek. Restoran ini menyajikan makan siang dengan menu prasmanan. Nathan tahu aku suka menu masakan penuh lemak dan di sini aku bisa mendapatkan bebek goreng dengan saus sambal yang kental dan lengket. Aroma bumbunya benar-benar menggugah selera makanku hingga piring sajiku kuisi penuh dan melahapnya sampai habis tanpa takut gemuk.

Saat kali pertama kami makan di sini, Nathan tersenyum menggoda melihat porsi makanku. “Kalau semua pengunjung restoran ini sepertimu, mereka pasti akan berpikir ulang menyajikan menu prasmanan semacam ini,” celetuknya.

Bukannya merasa malu atau apa, aku justru tersenyum lebar. “Kalau jadi model, aku tidak perlu repot diet untuk menjaga bentuk tubuh cekingku,” aku membalas.

Tubuhku memang tidak pernah gemuk. Hanya terkadang bertambah bobot, tetapi cepat pula turunnya. Beberapa teman wanitaku dahulu selalu bilang iri dengan tubuhku.

“Ide yang bagus. Kenapa kau tidak jadi model saja?” celetuk Nathan, di sela makannya yang berporsi tidak lebih banyak dari milikku.

“Model Goldies?”

Nathan menggelengkan kepala. “Tidak, tidak. Aku tidak rela laki-laki lain memandangi tubuh semi telanjangmu.”

“Kayak kau tidak suka lihat model-modelmu saja,” aku bersungut. Dan, kurasakan Nathan memandangku lekat kemudian. Lalu, laki-laki itu mendekatkan kepalanya di telingaku.

“Well, aku hanya melihat, tapi tidak menginginkan sebagaimana aku menginginkanmu,” bisiknya.

Saat itu, bukannya tersanjung, aku malah merasa ngeri.

“Apa yang kau inginkan dariku, Nat?” tanyaku, dan berpikir apakah dia hanya menginginkanku secara fisik sebagaimana dia menilai para model Goldies?

Lihat selengkapnya