Menatap kosong dari atas siswa siswi yang sedang berlari dan bermain di lapangan. Berada di lantai 3 membuatnya malas untuk turun ke kantin, terlebih lagi dia masih memikirkan kejadian di rumahnya tadi walaupun sudah beberapa jam berlalu. Bahkan ketika belajar tadi Ginanti tidak meperhatikan apa yang dijelaskan oleh gurunya. Wajah yang lesu dan malas hari ini sangat terlihat jelas. Untung saja dia dibebaskan dari hukuman tadi oleh sang guru, mungkin gurunya mengerti apa yang sedang terjadi oleh Ginanti. Namun, ada saja ucapan orang lain yang mengatakan kalau Ginanti tidak dihukum karena dia pandai menjilat.
"Kamu tidak jajan?" ucap salah satu temannya.
Ginanti bukan tidak punya uang untuk jajan, uangnya cukup untuk membeli jajanan walau pada nyatanya uang yang dia miliki tidak banyak seperti anak sekolah pada umumnya. Namun, keadaannya saat ini membuatnya malas untuk melangkah.
"Aku malas," ucap Ginanti dengan nada lesunya.
"Pantas saja kamu diam, biasanya berisik!!" jawabnya.
Perkataan temannya membuat Ginanti terdiam, apa kondisinya sangat terlihat bagi orang-orang? Ginanti tidak mengizinkan orang lain melihat sisi sedihnya, itulah yang selalu Ginanti terapkan sejak dahulu.
"Ya sudah ayo kita turun!" Celetuk Ginanti dengan merangkul temannya yang bernama Nona itu.
Senyuman Ginanti kembali terlihat, hanya dalam hitungan menit bahkan detik Ginanti bisa tersenyum seperti itu.
Ginanti turun bukan hanya bersama dengan Nona, melainkan temannya yang lain. Jika dilihat Ginanti adalah anak yang mudah akrab. Dia adalah anak yang pandai bergaul, tetapi Ginanti bukan anak yang ingin dikenal banyak orang karena bagi dia jika nanti ada banyak orang yang mengenalnya pasti ada juga orang yang berbicara buruk tentang dirinya. Walau pada kenyataannya Ginanti adalah anak yang acuh terhadap ucapan orang lain.
Tidak lama kemudian setelah melangkahkan kakinya dari lantai 3 dengan melewati satu persatu anak tangga. Ginanti dan empat temannya sampai di kantin.
Suara ricuh para siswa dan siswi untuk tidak sabar membeli makanan membuat Ginanti menggelengkan kepalanya. Terlebih lagi dia berada di sekolah yang mayoritasnya kebanyakan para laki-laki.
Bahkan tubuh kurus kecil Ginanti harus beradu antri dengan banyaknya orang. Dia memang sangat suka keramaian. Namun, bukan yang seperti ini, dan hal inilah yang membuat Ginanti malas untuk pergi. Seperti semut yang berebut ingin mengambil makanan, ya itulah keadaannya. Tidak ada yang mau mengalah semua mementingkan kondisi perut mereka, sama seperti Ginanti dan teman-temannya mereka juga harus berjuang. Walau makanan yang Ginanti beli bukanlah makanan istimewa, melainkan hanya sebuah nasi uduk yang harganya terbilang murah dan air putih.
Ketika selesai membeli makanan, Ginanti dan temannya hendak kembali. Namun salah satu guru memanggilnya.
"Ginanti."
"Ya Pak, ada apa?" ucap Ginanti
"Kita besok ada acara, kamu jadi pembawa acara ya besok!!"
"Ha? Besok Pak?" ucap Ginanti dengan wajah terkejutnya. Dia memang sudah sering menjadi bagian penting dalam setiap acara sekolah. Ginanti pun senang karena menurutnya itu adalah hal baik. Terlebih lagi dia selalu menerapkan dalam hidup harus banyak menolong orang lain, karena jika dirinya melakukan banyak kebaikan maka kebaikan akan kembali lagi kepadanya. Namun, hari ini ketemu besok itu terlalu cepat, masih ada waktu yang harus Ginanti persiapkan.
"Kenapa Gin?" tanya guru laki-laki tersebut yang biasa dipanggil Pak Yono. Wajah bingung Ginanti memang terpampang dengan sangat jelas. "Maaf Bapak memberitahu kamu mendadak soalnya dari kemarin Bapak sibuk ngurusin hal lain. Dan lagi pula kamu sudah sering mengisi acara, jadi Bapak yakin kamu selalu pasti bisa!"
Seperti biasa dalam kehidupan Ginanti, banyak orang yang menaruh kepercayaan kepadanya, tetapi dia senang. "Baik Pak, besok saya siap," jawab Ginanti dengan tersenyum.
Sejak dia berbicara tadi dengan gurunya, teman-temannya yang lain Ginanti biarkan pergi lebih dulu untuk ke kelas.