Tidak terasa waktu begitu cepat. Tepat jam satu siang, acara sekolah telah selesai. Dan sekarang aku tidak ingin kumpul-kumpul dengan beberapa temanku untuk sekadar duduk santai dan berbincang karena saat ini aku sedang berlomba dengan waktu. Ya, janjiku untuk kembali pulang ke rumah setelah acara usai. Namun, sebelum kepergianku. Aku pamit dengan semua orang. Setelah berpamitan aku pulang bersama dengan temanku yang tadi pagi juga menjemput aku bernama Nona.
Perjalanan dengan panas teriknya matahari tepat di atas kepala membuatku terus saja menghela napas.
Sekitar 15 menit, aku sampai di gang rumah. Rumahku yang kecil dan sederhana berada di dalam sebuah gang kecil. Tidak mungkin aku membiarkan Nona mengantarku sampai depan rumah karena mendapatkan tumpangan saja aku sudah cukup bersyukur dan terima kasih. Sebenarnya bukan hanya Nona saja yang memberikan aku tumpangan. Namun, teman-teman aku yang lain juga melakukan hal yang sama, itulah yang membuatku senang.
"Terima kasih Nona, hati-hati ya," ucapku kepadanya sambil menatap kepergian Nona. Ya, aku takut saja terjadi apa-apa dengannya ketika aku pergi. Musibah tidak tahu akan datang kapan bukan?
Setelah melihat Nona yang sudah hilang dari pandanganku dan aku pun langsung saja berjalan masuk ke dalam gang menuju rumahku. Dan ketika sudah sampai pintu depan rumah mataku sontak membulat lebar. "Aduh aku lupa," ucapku menepuk jidat.
Ya, aku melupakan kedua adikku yang aku titipkan di rumah Nenek. Aku pun pergi ke rumah Nenek untuk menjemput adikku. Sangat bodoh, bisa-bisanya aku melupakan mereka padahal saat sedang dalam perjalanan tadi aku selalu mengingatnya bahkan aku juga mengatakan di dalam hatiku kalau aku akan berhenti di rumah Nenek.
"Assalamualaikum Nek," ucapku yang kini sudah sampai tepat di depan rumah Nenek.
"Waalaikumsalam."
Mendengar jawab seorang anak laki-laki dari dalam membuatku tersenyum. Dia adalah adikku bernama Boby. Wajahnya yang tirus, dan tubuh yang pendek seperti anak seusianya. Memiliki kulit kuning langsat, itulah ciri khas aku dan Boby, sedangkan Melati memiliki kulit putih layaknya anak bayi. Berbeda dengan kedua orang tua kami yang memiliki warna kulit sawo matang sebab aku tahu dari mana asal itu panasnya matahari ketika bekerja membakar kulit mereka.
"Boby kamu sudah makan?" tanyaku dengan tersenyum. Ya terkadang aku menjadi anak yang sulit mengontrol emosi, terkadang juga aku menjadi anak yang lemah lembut. Kepribadianku seolah-olah seperti dipermainkan, aku bahkan suka berpikir aku memiliki peran pengganti dalam tubuhku.
"Udah kak, Boby udah makan," jawabnya dengan mengecup punggung tanganku.
Aku pun melangkahkan kaki masuk ke rumah Nenek yang terbilang cukup sederhana sama seperti rumah kami. Walaupun hidup di Ibu Kota tetapi dengan keterbatasan ekonomi kami sangat sulit untuk beradaptasi. Walau rumah ini hanya kontrakan. Namun, bagiku rumah nenek adalah tempat yang tenang dan damai. Tidak seperti rumahku yang berisik padahal memiliki status yang sama-sama milik orang lain.
"Nenek, Ginanti sudah pulang. Melati dimana?" ucapku yang tampak bingung karena biasanya setiap pulang sekolah aku selalu melihat adikku berada di gendongan sang nenek.
"Adikmu baru saja tidur. Kamu istirahat saja dulu disini, makanan yang tadi masih ada sisa kamu makan dulu saja Gin. Nanti kalau adikmu sudah bangun, Nenek akan memberitahukan kamu," jawab sang nenek.