Seorang pria bertubuh tinggi menatap tajam mataku, dia bahkan tidak berhenti berteriak memanggil nama ibuku.
"Sudah berapa kali aku mengatakan bang, kalau ibuku tidak ada di rumah. Ibu lagi kerja," cetusnya dengan wajah juteknya.
"Bohong, Ibu kamu pasti ada di dalam," jawab pria itu dengan penuh penekanan.
"Ngapain saya bohong? Sudah pergi sana!"
Aku terus saja mengusir pria itu, ya pria yang keras kepala tetap saja mengira kalau aku membohonginya.
"Mana Ibu kamu, bayar hutangnya sudah berhari-hari tidak bayar anj*ng!"
Aku menghela nafas malas, bukannya ibuku tidak mau membayar. Mereka para lintah darat bermain curang terhadap kami yang bodoh. Bunga yang digandakan berkali-kali lipat, bahkan sangat tidak masuk akal. Belum lagi ketika kami membayar mereka tidak langsung menulis di buku mereka. Jika kami membayar dua kali mereka hanya menulis satu kali. Bukankah itu menyiksa kami?
"Lagi pula jika Ibu saya bayar abang juga curang."
Setiap hari inilah yang aku hadapi, belum lagi bisikan-bisikan tetangga terhadap keluarga kami. Tatapan tetangga tajam dengan bola mata yang hampir keluar dan kedua mulut yang tidak berhenti bergerak. Jika boleh jujur aku benci dan lelah dengan kehidupanku yang seperti ini. Namun, jika ini adalah takdir yang diberikan Tuhan, aku harus lapang dada menerimanya.
"Kamu anak kecil jangan ikut campur gila, mana Ibu kamu? Cepat keluar!"
Brak!!
Aku yang menahan pintu, terdorong dan terjatuh. "Jangan masuk-masuk saja bang, cari aja. Sudah aku katakan berulang kali kalau Ibu gak ada," jawabku yang kini sambil menenangkan kedua adikku.
Ya, mereka berdua menangis. Suara tangis kencang Melati membuatku khawatir.
Sedangkan Boby yang memeluk pinggangku dengan tatapan takut. Di saat seperti ini aku merasa sebagai seorang Kakak sungguh merasa sangat lemah dan tidak berguna. Sebagai seorang anak, aku tidak dapat membantu keluarga.