Wajah yang tampak pucat membuatku menjadi perhatian banyak orang, terlebih lagi suara yang aku keluarkan tadi. Mereka pasti berpikir, aku kampungan naik angkutan umum saja aku mabuk darat.
Selama perjalanan banyak pasang mata yang menatapku, mereka juga tidak segan-segan berbisik membicarakan aku.
"Aduh Bu Ginanti malu, kita turun saja ya Bu," ucapku dengan menahan rasa mual dalam perutku.
"Ibu juga malu Gin, sudah biarkan saja kamu tidak perlu memperdulikan mereka. Kalau kita jalan kaki lumayan tahu Gin," jawab Ibu yang menolak permintaanku secara halus.
Sebenarnya aku bukan malu, tetapi rasa mual perutku sangat tidak bisa ditahan lagi. "Aku harus kuat ... aku harus kuat ...." ucapku dalam hati. Jujur aku takut jika aku mengeluarkan isi perutku lagi.
Tubuhku makin lemas, keringatku terus saja bertambah. "Bu ... Ginanti tidak kuat."
Aku menyerah, tidak peduli jika Ibu marah kepadaku karena turun di pertengahan jalan.
"Ya udah, kita turun saja. Pak ... kiri ya Pak!"
Aku bernafas lega karena akhirnya aku keluar dari sesuatu yang menyiksa diriku. "Bu makasih, Ginanti sangat mual tadi jika terus menunggu sampai di tujuan mungkin aku akan muntah lagi."
"Gin ... Gin ... gimana nanti ketika kamu sekolah di sana? Kamu yakin kuat?" tanya Ibu.
Aku paham maksud Ibu, memikirkan hal yang sama selama di mobil tadi. Tidak mungkin aku menolak permintaan ibuku untuk tidak sekolah di sana, sedangkan uang pendaftaran sudah masuk 30%. Jika aku mengundurkan diri uang itu akan hilang.
"Aku kuat Bu, lama-lama nanti terbiasa," jawabku dengan tersenyum.
"Ibu tidak memaksa kamu loh Gin. Yaudah kita lanjut jalan lagi!"
Ibu memang tidak memaksaku, tetapi aku menghormati pilihannya. Tentu pilihan seorang Ibu adalah yang terbaik, aku percaya hal itu.
***
Aktivitas kembali seperti biasa, orang tuaku bekerja dan aku sekolah, sedangkan Boby dititipkan di rumah Nenek. Namun, hari ini aku telah menjadi murid baru. Ya, aku masuk sekolah menengah kejuruan. Alasanku berada di sekolah kejuruan karena setelah lulus nanti aku akan bekerja membantu keluargaku agar ekonomi kami membaik, dan keinginanku untuk menaikkan derajat mereka setinggi-tingginya. Sambil bekerja aku akan kuliah, suatu saat nanti aku akan menjadi orang yang sangat sibuk.
Menatap seragam baru aku, tidak menyangka jika Ibu membelikan aku. Ibu meletakkannya di atas meja, aku tahu betapa perhatian Ibu dan peduli terhadap diriku. Dia pasti takut jika aku merasa iri dengan murid-murid lain yang menggunakan pakaian baru. Aku juga tahu dia membelinya dari uang yang dipinjamnya kemarin.
Gin ... maaf Ibu hanya bisa membelikan bajunya saja, untuk rok itu diberikan oleh beberapa tetangga.
Surat yang ditinggalkan oleh ibuku. Ya, awalnya aku pikir Ibu membelikan aku satu set seragam. Namun ternyata Ibu membeli baju putihnya saja karena punyaku yang lama sudah mulai menguning. Lalu sisanya ada 3 rok abu-abu dan 1 rok putih, tidak peduli jika rok-rok itu tidak baru atau bekas orang lain. Mengetahui betapa perhatian Ibu kepadaku dengan meninggalkan surat itu membuatku senang.
Pertama kali masuk sekolah, berangkat bersama dengan awan gelap. Aku berjalan kaki melewati setiap gang-gang kecil untuk menuju jalan raya besar. Hari ini aku mau naik angkutan umum seperti kemarin.
Pagi hari aku sengaja tidak sarapan karena aku sengaja melakukannya. Jika aku sarapan dan merasa mual aku akan memuntahkan isi perutku dan jika tidak sarapan apa yang akan aku keluarkan?