Air mata ini tak bisa aku bendung lagi, rasanya seperti air sungai yang mengalirkan begitu deras, lancar tanpa ada hambatan sedikit pun. Mendengar kabar buruk itu membuatku termenung. Kenapa Ibu harus pergi? Apa yang terjadi sebenarnya dengan kehidupan kami?
"Gin ... Nenek mohon kamu jangan benci dengan ibumu. Dia melakukan ini semua demi keluarganya!" ucap Nenek dengan mengelus rambutku.
Perasaanku sangat hancur, aku tidak benci dengan ibuku. Namun apa caranya harus seperti itu?
"Tidak Nek, Ginanti tidak benci Ibu. Aku hanya bingung kenapa harus pergi meninggalkan ini semua. Bukankah kami bisa memikirkan cara lain?" cetus aku dengan mata yang sembap.
"Hutang ibumu tidak sedikit Gin, banyak. Bukan satu atau dua juta tetapi puluhan juta. Jika Nenek berada di posisi ibumu, Nenek juga bingung harus melakukan apa."
"Nenek tahu ke mana Ibu pergi?" tanyaku dengan tatapan lemah.
"Nenek tidak tahu, bahkan ibumu pergi saja Nenek tidak tahu, membawa Boby juga Nenek tidak tahu itu. Hanya ada ini yang Nenek temukan!" ucapnya dengan memberikan selembar kertas.
Hari ini aku sangat hancur. Tidak ada peran orang tua yang memelukku. Ibuku sudah pergi, lalu bagaimana dengan Bapak? Dia sedang bekerja menjadi kuli bangunan di luar kota. Tidak ada yang tahu masalah ini, kesedihan yang harus aku tanggung sendiri.
Aku mengambil selembar kertas yang diberikan oleh Nenek. Sedangkan Nenek pergi meninggalkanku. Dia pasti tidak ingin melihat betapa hancurnya kehidupanku, dia tidak kuat melihat cucunya menangis.
Ginanti Ibu sayang kamu, tapi maaf ibu harus meninggalkan ini semua. Ibu tidak tahu bercerita seperti apa. Mungkin ini yang direncanakan oleh kehidupan. Tapi tolong jangan marah dengan ibu. Terima kasih atas semua yang sudah kamu hadapi. Kehidupan memang seperti ini terhadap keluarga kita. Ibu hanya ingin menenangkan diri, Boby ibu bawa karena kamu sudah menanggung beban terlalu banyak. Hutang ibu yang banyak, amarah dan rasa lelah ibu yang setiap hari dilampiaskan kepadamu. Sudah cukup kesedihan yang selama ini kamu tanggung Gin. Maaf ya, kamu harus dewasa sejak kecil. Ibu harap tanpa kami kamu bahagia.
Kertas yang diberikannya aku lempar, tidak tahu aku harus berbicara apa. Aku bisu, kali ini aku benar-benar kehilangan arah.
Tok!
Tok!
Suara pintu terketuk mengejutkan aku. "Siapa?" teriakku.
"Gin, kamu dipanggil mamaku!"
"Kenapa?" jawabku dengan lesu.
"Ke rumah aku dulu ya Gin, Mama aku mau bicara!"
Aku mengangguk. Apa lagi ini tuhan? Rencana apa yang akan kau berikan kepadaku? Sejujurnya aku tidak bisa pergi keluar dengan kondisiku seperti saat ini. Namun, aku rasa ada hal penting yang harus diucapkan oleh tetanggaku itu.
Melangkah dengan tergontai-tergontai, tatapan yang kosong mengingat bagaimana kehidupan masa depanku selanjutnya. Apa yang akan aku lakukan tanpa mereka? Bisakah aku hidup dengan diriku sendiri? Seburuk atau sejahat apa pun Ibu, dia tetaplah ibuku.
Aku menghela nafas panjang, bisakah aku tegar di hadapan orang lain?
"Ada apa Tante?" tanyaku ketika masuk ke dalam rumahnya.
"Kamu duduk dulu ya tenangkan dirimu!"
"Kenapa?"