Panas terik matahari begitu terasa, pelipis yang sudah mulai basah dan perjalanan terasa begitu panjang. Tidak tahu harus ke mana dia menginjakkan kakinya lagi. Yang ada dipikirannya dia harus pergi jauh menghilang dari kehidupannya yang buruk ini. Tas ransel yang berada di pundaknya dan seorang putra kecil yang kini berada di gendongannya. Kain batik menutupi wajah putranya dari sinar matahari. Tampak diam dan tidak berisik seolah-olah mengerti bagaimana keadaan ibunya saat ini.
"Boby, ibu sebenarnya tidak mau membawa kamu. Tapi ibu tidak tega meninggalkan kamu, dan Ginanti tidak mungkin menanggung beban berat ini," ucapnya kepada seorang balita yang tertidur pulas.
Tidak ada seorang Ibu yang tega meninggalkan anak-anaknya, seburuk dan sejahat apapun anaknya dia tetap ingin berada di samping sang anak hingga terpisahkan oleh takdir.
Wajahnya yang lesu tubuhnya yang lemah karena perut tidak terisi dan badannya yang semakin lama sedikit kurus. Bukan tidak ingin makan, tetapi selama ini dia mengorbankan untuk seluruh keluarganya. Guriyah rela tidak mengisi perutnya sebelum berangkat bekerja walau hanya satu suap nasi. Dia lebih mementingkan anaknya begitu juga dengan masalah yang terjadi saat ini. Semua hutang yang menumpuk memang salah dirinya, terlebih lagi dengan kesalahan besarnya yang menggunakan nama orang lain untuk melakukan pinjaman. Dia tidak pernah berpikir untuk berhenti dan mengatur hutang yang dia punya, karena yang ada dipikirannya bagaimana keluarganya tetap hidup pada gempuran ekonomi yang buruk ini. Semua dia lakukan demi keluarga walau keadaan sekarang menjadi hancur.
Dengan uang hasil kerja suaminya yang tidak mencukupi kehidupannya. Terkadang kerja dan terkadang tidak. untuk menjalankan keuangan bagi seorang istri adalah hal sulit. Sedangkan Suami yang tidak pernah mengerti, mereka hanya tahu bekerja dan memberikan uang tanpa peduli bagaimana cara mengaturnya.
"Dengan uang ini apakah cukup untuk menghidupi kehidupan aku dan Boby?" ucapnya memandangi uang sejumlah lima puluh ribu.
Kehidupan Jakarta yang keras bagi keluarga dengan ekonomi yang rendah sulit untuk berbaur dengan sekitar, bertahan hidup saja sudah membuat Guriyah bersyukur.
Sudah lebih 3 jam dia berjalan, tidak tahu harus pergi ke mana. "Jika aku diam saja Boby tidak bisa hidup bersamaku," cetusnya kembali. Pakaiannya benar-benar sangat kucel. Tas ransel yang dia pakai pun terlihat hampir rusak karena beban yang berat. Pakaian yang banyak dia bawa bahkan terlihat melembung dan membesar.
Guriyah kembali berjalan, dan dia terhenti di sebuah rumah.
Tok!
Tok!
"Siapa?" Teriak seseorang wanita dari dalam.
Ceklek!
Pintu terbuka lebar memperlihatkan seorang wanita bertubuh kecil. "Loh Guriyah, masuk sini masuk!"
Sambutan yang begitu hangat membuat Guriyah tersenyum. Dia masuk ke dalam dan meletakkan tasnya di dekat pintu sedangkan Boby dia pangku. Guriyah tidak ingin melepaskan tangannya dari Boby.
"Bagaimana kabar kamu? Mau ke mana Gur bawa tas sebesar itu?" tanyanya melirik tas berwarna merah muda itu.
"Aku sedang dapat masalah Nik, hutangku banyak. Aku berencana kabur membawa anak aku. Tapi aku bingung harus ke mana," jawabnya dengan meneteskan air mata.