Mendengar kabar Ibu tentu membuat Ginanti senang. Wajahnya yang kembali tersenyum, tangannya dia perban sebaik mungkin. Dia harus menunjukkan bahwa dirinya baik-baik saja ketika bertemu dengan ibunya nanti. Sang ibu tidak boleh mengetahui betapa buruk keadaan Ginanti.
"Kita mau mencari Ibu ke mana?" tanya Ginanti dengan wajah yang sumringah. Namun, tetap saja luka dalam hati yang dia tutup begitu terlihat dan terpancar. Terlebih lagi dengan matanya yang sembap dan sayu.
"Nanti biar Om jelaskan di jalan!" jawabnya sambil menyalakan mesin motor.
Brum ... Brum ... Brum ....
Perjalanan bersama gelapnya malam, dengan kaos lengan pendek membuat Ginanti tampak kedinginan terlebih lagi angin sangat kencang.
"Om ... bukankah tadi ingin menjelaskan tentang Ibu? Dari mana kamu mendapatkan informasi tentang Ibu?" tanya Ginanti dengan suara yang agak keras sebab suara angin serta kendaraan lain membuat ucapannya pasti akan sulit di dengar.
"Tadi teman ibumu ke rumah, dia memberitahu kalau sebelumnya Ibu kamu datang ke rumahnya lalu pergi tanpa pamit. Mungkin dia masih ada di sekitar sini."
Ginanti terdiam, dia pikir akan menemukan ibunya dengan mudah. Ternyata tidak ada titik terang tentang keberadaan ibunya sekarang. Justru informasi yang diberikan yaitu keberadaan ibunya saat pertama kali pergi sedangkan sang Ibu sudah berhari-hari pergi. Apakah Ibu masih ada di sekitar daerah rumahnya? Atau mungkin Ibu pergi ke daerah lain?
Tanpa sadar air matanya menetes, wajah cerahnya kini berubah menjadi mendung.
"Sepertinya percuma saja kita mencari Ibu," ucapnya dengan pasrah. Tatapan menunduk.
"Tidak ada yang percuma Gin, kita pasti menemukan Ibu."
Mereka yang sedang dalam mengelilingi jalan terkejut ketika motor yang mereka kendarai tiba-tiba saja berhenti.
"Loh ... loh motornya," celetuk Ginanti.
"Aduh ... lupa isi bensin Gin."