Melihat wajah kesal Ibu membuat Ginanti sontak langsung saja menggelengkan kepalanya, karena sang ibu yang salah paham dengan apa yang dia ucapkan.
"Maksudnya aku itu bukan seperti itu Bu. Sebelumnya aku kan sudah mendapatkan penghasilan dari hasil karya-karya aku. Dan sekarang aku diajak kerja sama untuk berpartisipasi dalam sebuah acara pameran lukisan. Aku yang akan di kontrak selama satu tahun, dan selama itu aku akan mendapatkan gaji," ucap Ginanti dengan tersenyum.
"Kamu serius Gin?" tanya Guriyah dengan tatapan yang berbinar.
"Iya serius Bu."
"Tapi Gin, dia hanya di kontrak selama setahun. Lalu setelah itu bagaimana Gin?" tanya Guriyah yang telah berpikir kehidupan selanjutnya jika dia berhenti dari pekerjaannya dan hanya mengandalkan karya Ginanti saja.
"Ibu ... tidak perlu khawatir aku janji akan membantu kalian. Tempat untuk menjual lukisanku bukan hanya d saja, aku akan menyebarkan seluruh karyaku Bu. Dan lagi pula sebentar lagi aku lulus, aku akan bekerja menggantikan kamu. Sudah saatnya Ibu istirahat, insyaallah dengan doa Ibu segala perjalananku lancar."
Ucapan Ginanti membuat Guriyah terharu, anak yang dahulu pernah dia sakiti kini justru memeluk dirinya baik suka atau pun duka.
"Terima kasih Gin, Ibu tidak tahu harus berbicara apa," ucap Guriyah sambil mengusap air matanya yang sejak tadi menetes.
Ginanti sejak dahulu selalu berpikir dewasa. Selalu mengerti kondisi kedua orang tuanya dan tidak pernah memaksa meminta apa pun.
"Iya sama-sama Bu, untuk keluarga ini Ginanti akan melakukan segala cara. Aku tidak mau kita kembali seperti dahulu dikejar-kejar hutang yang banyak. Sekarang tidak banyak lagi orang yang menagih, sedikit demi sedikit aku akan bantu kalian melunasi. Sekarang adalah waktunya aku untuk berbakti dan membalas Ibu. Pengorbananmu sudah cukup sampai di sini."
"Siapa yang mengajarkan kamu berbicara seperti itu Gin ... hiks ... hiks ... bahkan Bapak kamu saja tidak mengerti apa yang Ibu rasakan."
"Semua kata-kata itu keluar saja dari mulutku."
Suara tangis Melati membuat Ginanti dan Guriyah tertawa, padahal saat ini mereka sedang terbawa suasana.
Melihat Ibu pergi menggendong Melati sambil tersenyum membuat Ginanti juga ikut tersenyum. Dia tidak mau jika Melati merasakan apa yang Boby rasakan, begitu juga sebaliknya Ginanti tidak mau kedua adiknya merasakan betapa sedihnya hidup mereka dahulu.
Tanpa sadar air matanya menetes, dia sudah lama tidak merasakan cacian dan pukulan sang ibu. Seperti ini rasanya diakui keberadaanya dan mendapatkan kasih sayang yang bukan hanya bayang-bayangan saja.
***