Selama menjalani kehidupan di dunia kamu selalu bersikap baik kepada orang lain karena suatu hari kamu yakin pasti akan mendapatkan hal baik juga. Membantu, menjadi pendengar yang baik dan memberikan senyuman kepada banyak orang karena sebagai manusia kita tidak tahu seberapa lama umur kita. Semua sudah tercatat dan yang mengetahui hanya Tuhan. Tetapi bagaimana jika suatu hari kamu merasakan kalau hal yang telah kamu lakukan selama ini sia-sia bahkan tidak berguna?
"Bu, sebagian besar orang memanggilku wanita penolong. Aku baik kepada mereka mulai dari orang yang tidak aku kenal bahkan sampai mereka yang aku kenal, begitu juga orang terdekatku. Tetapi kenapa aku merasa semua yang aku lakukan rasanya sia-sia, kenapa aku justru menderita seperti ini?" ucapnya dengan nada yang pelan.
"Gin, kamu tidak boleh berbicara seperti itu. Kamu yang mengatakan sendiri kepada ibu kalau kita adalah manusia pendosa, selama kita masih diberikan kesempatan untuk hidup buatlah amal sebanyak-banyaknya," jawab Ibu.
"Iya Bu aku ingat, jika tidak dengan uang aku bisa membantu mereka dengan ilmu yang aku punya. Dan Ibu tahu aku memiliki rasa simpati yang besar sama sepertimu. Aku melakukan menjalankan tugasku sebagai seorang manusia Bu, tetapi mereka tidak memperdulikan aku. Lihat saudara kita, dia peduli tidak denganku? Mereka datang tanpa berpikir bagaimana keadaan aku. Kepalaku sudah penuh dengan banyak hal, hiks ... hiks ... aku lelah, arghhh ...." Ginanti menendang rice cooker yang berada di sampingnya.
"Mereka peduli dengan kamu Gin, hanya saja kamu caranya berbeda kamu tidak mengetahuinya Gin. Sudah cukup jangan menangis lagi, jangan menyiksa dirimu," jawab Ibu yang kini mulai meneteskan air matanya.
Ibu mana yang tega melihat anaknya sedang terpuruk seperti itu? Hatinya sangat hancur, jika boleh bertukar mungkin Guriyah lah yang ingin berada di posisi Ginanti. Melihat Ginanti yang tersiksa juga membuat dirinya ikut tersiksa.
"Tidak Bu, mereka tidak peduli. Mereka semua hanya mementingkan diri mereka. Tidak ada yang mengingatku, teman-teman aku yang lain tidak ada yang bertanya kabarku. Mereka pikir aku bahagia padahal aku tersiksa Bu. Hiks ... hiks ... hiks ... aku merasa malas untuk menjalani hidup ini. Sepertinya tidak ada yang melihat bagaimana perjuanganku."
"Ginanti ibu tahu apa yang kamu rasakan, kami tahu bagaimana perjuanganmu. Mereka mengingat kamu Ginanti, biarkan jika memang orang-orang itu tidak mengingat dan tidak peduli denganmu. Tapi kamu masih ada kami," ucapnya berusaha menenangkan Ginanti.
Mendengar ucapan Ibu justru membuat emosi Ginanti bertambah. "Tidak, kalian juga tidak peduli," ucapnya dengan melempar sebuah piring plastik.
Rumah Ginanti yang dipenuhi dengan piring-piring plastik mengingat kejadian dulu ketika kedua orang tuanya sering bertengkar dan barang-barang di rumahnya terutama piring sehingga membuatnya berinisiatif mengganti dengan plastik.
"Kamu jangan seperti ini, apa yang sedang kamu pikirkan Gin? Cerita sama ibu!" tanya Guriyah yang melihat putrinya menangis histeris.
"Tidak Bu tidak, Ginanti mau sendiri saja hiks ... hiks ... hiks ...." ucapnya dan berdiri melangkah pelan menuju kamar mandi.
Guriyah tidak bisa mengabulkan permintaan putrinya yang ingin ditinggalkan sendirian di dalam rumah untuk sebuah ketenangan. Dia takut jika Ginanti justru berbuat hal buruk seperti melukai dirinya. Tidak ada yang mengetahui bagaimana bisikan-bisikan setan terhadap manusia. Dia pun tetap diam dan tidak pergi dari rumah.