Sudah dua Minggu Ginanti melamar pekerjaan, tetapi belum ada perusahaan yang memanggil dirinya.
"Huftt ... jika seperti ini terus aku tidak kuat," ucapnya dengan sedih. Semangat yang telah muncul selama ini tiba-tiba padam. Ginanti kembali lesu, dia menyerah dengan dirinya sendiri.
Dia pun menangis. Ginanti bukan sedih karena keadaan dirinya, tetapi dia merasa sedih dan kasihan dengan seluruh keluarganya. Mungkin untuk bulan ini keluarganya masih memiliki uang sisa dari hasil gaji Ginanti, lalu bagaimana jika semua habis? Karena uang yang disimpan itu tidak begitu banyak hanya 20% dari hasil gajinya. 80% sisanya sudah habis digunakan untuk kebutuhan dan juga membayar hutang. Ginanti tidak mau keluarganya kekurangan uang. Wajah bingung apa yang harus dirinya lakukan terlihat begitu jelas.
"Gina Ibu ke mana?" tanya Nenek Aminah yang tiba-tiba saja datang tanpa mengucapkan salam.
Ginanti yang mendengar suara sang nenek sontak terkejut dan langsung saja menghapus air matanya.
"Kamu habis nangis Gina?" tanya Nenek sehingga membuat Ginanti dengan cepat menggelengkan kepalanya.
"Tidak Nek, Gina tidak menangis," jawab Ginanti.
Tatapan bohong yang terlihat jelas karena Ginanti bukanlah anak yang suka berbohong. Aminah yang mengetahui cucunya berbohong dan dia diam, dia membiarkan Ginanti bercerita sendiri tanpa harus bertanya karena jika dirinya banyak tanya takut Ginanti marah dan memperburuk keadaan Ginanti yang saat ini sedang membaik.
"Ibu di mana Gin?" tanya Nenek melihat kalau di dalam rumah hanya ada Ginanti saja.
"Ibu sedang antar adik-adik sekolah. Memangnya kenapa Nek?"
"Tidak ada apa-apa Nenek hanya bertanya saja. Kamu kenapa menangis Gin? Apakah kamu sedang ada masalah atau kamu bertengkar dengan ibumu?"
"Tidak Nek, Ginanti baik-baik saja. Aku juga tidak bertengkar dengan Ibu atau pun dengan Bapak."
"Kamu yakin tidak apa-apa? Nenek menunggu Ibu kamu di sini saja sambil menemani kamu," jawab sang nenek.