Tidak tahu sampai kapan pertengkaran keluarga aku selesai. Kepala yang setiap hari tidak berhenti berdenyut, dan dada yang tiba-tiba saja sakit seperti di remas. Hal yang paling aku takutkan adalah pada usia muda ini aku terkena serangan jantung karena rasa emosi yang sulit aku kontrol. Aku tidak bisa membayangkan jika itu semua terjadi, mungkin seluruh keluargaku terpecah belah. Aku yang pengangguran saja sudah membuat semua di rumah ini menderita. Bagaimana ketika aku menjadi seorang anak yang penyakitan? Jika seperti itu aku lebih memilih mati saja dari pada harus menyusahkan kedua orang tuaku.
Aku berpikir sepertinya masalah keluarga ini terjadi karena diriku. Sebagai seorang anak aku tidak bisa memberikan yang terbaik. Sebagai seorang Kakak aku tidak bisa membahagiakan kedua adik-adiknya lagi. Terlebih lagi penyakit mental yang aku miliki rupanya sudah menyusahkan mereka.
Pagi ini aku hanya ingin tidur dengan harapan aku tidak akan terbangun lagi.
"Ibu mau ke mana?" tanyaku dengan lesu.
"Ibu mau ke depan Gina," jawabnya dengan datar.
Mungkin Ibu masih marah denganku karena pertengkaran kemarin. Apa ucapanku salah? Aku selalu mengerti mereka, tetapi mereka tidak mengerti aku.
Aku selalu berpikir bagaimana caranya aku membalas apa yang sudah kedua orang tuaku lakukan selama ini? Aku selalu merasa memiliki hutang jasa kepada keduanya. Tetapi ketika segala cara telah aku lakukan rupanya mereka hanya memandnagku sebelah mata.
Aku tahu apa yang dirasakan oleh Ibu dari dulu hingga sekarang, karena aku juga merasakannya sekarang. Dan masa lalu yang buruk tentang perlakuannya kepada aku, semua sudah aku maafkan. Aku berusaha melupakan walau masa lalu itu terus menghantui aku. Saat itu Ibu hanya lelah dengan kehidupannya sehingga aku menjadi korbannya. Bahkan sekarang aku pun memberikan izin jika beliau melakukan hal yang sama lagi. Menurutku lebih baik sakit fisik dari pada sakit batin.
"Bu jangan ambil yang lain lagi ya," ucapku takut Ibu mencari hutang lain karena aku tahu bagaimana sifatnya.
"Kamu terus saja menuduh Ibu Gin. Setiap ibu keluar kamu pasti mengatakan itu, ibu tidak perlu kamu curigai Gin. Lagi pula jika ibu berhutang lagi, ibu akan berbicara kepadamu Gin," jawabnya dengan kesal.
Benar, aku memang mencurigai Ibu karena saat ini kami sangat buntu. Kami bingung apa yang harus dilakukan agar keluarga ini tetap hidup. Lagi pula aku bukan ingin mengaturnya, tetapi aku hanya takut Ibu salah jalan seperti dulu. Dan sekarang bukan hanya Ibu ternyata aku juga terseret dalam masalah ini.
"Kalau Ibu butuh apa-apa bilang sama Gina Bu, izin. Ginanti tidak larang Ibu jika ingin meminjam uang kepada teman Ibu atau yang lain, tetapi Ginanti harus lihat dulu bagaimana orangnya."