Aku mengeratkan jaketku yang kumal. Meski begitu, jaket warisan dari kakak perempuanku ini, nyatanya selalu setia melindungiku menghalau rasa dingin yang menusuk tulang.
Sebagai warga Garut yang kebetulan tinggal di bagian wilayah bersuhu dingin, aku sebenarnya tidak terlalu menyukai fakta tersebut. Lagi-lagi ada kebencian yang mengusik hati ketika tanpa sadar aku terus mengaku sebagai warga Garut. Ah, membosankan.
Lebih baik kampung halamanku dua kali lipat. Disana meski malam selalu dingin, setidaknya ada teman mengobrol. Obrolan yang menghangatkan hati. Mengusir rasa dingin berlebih.
“Lagi mikirin apa?” Ibu datang membawa secangkir kopi instans dengan uap yang masih mengepul.
“Oh, bu. Ini aku lagi mikirin tugas bikin artikel,” Bohongku, agak tergagap karena kedatangannya yang tiba-tiba.
Di depan teras rumah, ada satu paket kursi dan meja yang menghadap langsung ke jalanan perumahan. Dengan demikian, kami bebas melihat tetangga yang lewat, atau kucing liar yang sibuk mencari makan. Mengeong minta sisa makanan.
Pasca perceraian serta perpisahan yang kedua orang tuaku lakukan. Pada akhirnya aku memilih jalan hidup yang baru. Yakni hidup hanya berdua dengan Ibuku. Sementara Bapak, dia menikah lagi sesuai dengan apa yang selama ini diharapkannya.
Biasanya, setiap malam. Selepas shalat Isya. Ibu selalu tidur lebih awal karena keesokan paginya harus mengajar anak-anak. Sebagai Guru, Ibu tidak pernah melalaikan kewajibannya.
Tetapi malam ini berbeda. Jika keluarga lain lebih memilih menghabiskan akhir pekannya dengan menonton film di Bioskop, lalu makan di restoran enak, kemudian mengakhiri semuanya dengan berbelanja. Maka, aku dan Ibuku hanya akan menghabiskan waktu di rumah seharian. Melakukan apapun. Dari mulai pekerjaan rumah, menonton serial korea kesukaan Ibu, dan makan masakannya yang tiada bandingan itu.
“Kamu pasti rindu rumah, ya?”
Aku tertegun mendapatkan pertanyaan itu. Ternyata benar ya, kita sepertinya tidak akan pernah bisa menyembunyikan perasaan dari makhluk Tuhan bernama Ibu.
“Iya, sedikit kangen. Pengin nyeblak sama sepupu, bu.”
Selama dua tahun terakhir, aku selalu berhati-hati saat berhadapan dengan Ibu dan segala percakapan tentang hidup. Yang terpenting sekarang adalah bukan mencurahkan apa yang seringkali membuatku menangis di kampus, melainkan aku hanya ingin fokus pada perasaan Ibuku. Aku tentu tak ingin membuatnya terjaga semalaman hanya karena merasa bersalah telah menjauhkanku dari kampung halaman dan semua keseruan yang ada di sana. Tapi yang kulakukan, pada kenyataannya sering berbanding terbalik.
“Besok kamu boleh kesana,” Bibirnya tersungging ramah, namun tidak dengan sorot matanya yang jelas-jelas menyiratkan kekecewaan. Sial, kenapa aku selalu saja menyakiti hatinya, sih?