Sekalimat untuk Nada

Muhammad Fiqih Sugesty
Chapter #1

Sastrawan

Mendiang angin sedang pergi mencari hilir

Ditemunya serintik hujan dibelakang gunung

Bertanya tentang arti dari sakit sebenarnya

Tak ada tutur yang keluar dari gundukan tersebut

Begitu lejar angin pergi mencari

Si hebat dan tak pernah terlambat

Si pintar datang selalu dengan benar

Lalu buat apa ada si bodoh?

Angin berhembus mencari jawaban

Tapi selalu pasti dalam satu hal

Bahwa semua punya rahasia tak terjawab.

Sastra begitu sibuk menulis sajak di note kecilnya. Tidak lupa tas bahu coklat bertengger di sebelah kanan. Goretan pulpen kecilnya begitu lincah menuliskan kata-kata. Tak heran jika ia gemar menulis sedari kecil. Suasana taman kota yang tenang, begitu membantunya menemukan kata-kata. Kali ini cukup serius rupanya. Raut wajahnya bergeming melihat orang-orang sekitar. Taman Kota memang selalu menjadi tempat tamasya menjelang senja. Tapi kali ini Sastra mencoba peruntungan mengukir kalimat di tempat ini.

Begitulah Sastra, sudah dua tahun saja ia menjadi penulis lepas. Bayarannya memang tak pernah bisa membuatnya kaya. Seandainya saja idealismenya ditinggalkan, maka sudah hebatlah ia sekarang. Tawaran menulis cerita sering menghampiri tanpa melalui permisi. Sayang seribu sayang ia tak suka menulis untuk orang lain. Jadilah Sastra sekarang, berdiam menikmati sejuknya angin sembari menulis yang mau ia sampaikan. Gaya berpakaian pun sudah mirip sekali dengan gembel pinggir jalan. Kemeja merahnya sudah mulai pudar akibat terlalu lama dipakai. Note kecil berwarna coklat menggantung dilehernya. Banyak cerita dan masa lalu di dalam note itu. Sastra yang memang seorang pendiam terbiasa menuangkan kalimatnya ke dalam sana.

Matahari terlihat mulai memasuki jam tidurnya. Semakin gelap saja taman kota. Orang-orang mulai kembali ke rumahnya masing-masing, meninggalkan Sastra sendiri bersama tulisannya.

"Udah sore aja.." Sastra berdialog dengan dirinya sendiri. Tak ada sapaan dari orang sekitar, hanya ada Sastra, note, dan tas bahu miliknya. Sastra pun mulai berkemas, sekarang waktunya berjalan menyusuri kota. Taman sudah terlalu gelap untuk dilihat. Sedangkan kota memiliki kelap-kelip lampu yang menyala.

***

Sekalimat Pertama :

"Bungkam aku dibuat kata-kata. Menyisir jalan berupa asa, mencari bebas yang tertanam tanah. Sekalaunya cerita berupa nasihat. Maka aku hanya butuh pendengar. Letih berlari tapi tak mau berjalan. Dinding penuh keringat tak pantas kamu lihat. Sehari sudah kata-kata disusun jadi kalimat. Makna tak ada, arti pun hanya kiasan. Tutur berkata gestur bergerak."

-Pelintas Kalimat-

Lokasi : Dinding Mural

Lihat selengkapnya