1996
Mata kecil itu begitu terpaku ke depan. Ia anteng di atas honda Pitung merah yang dikendarai bapaknya sampai di gerbang pemukiman. Kepalanya yang berhias dua kuncir tak simetris di sisi kanan dan kiri itu, melongok-longok, padahal ia sudah dibonceng di depan.
“Lihat apa sih?” pria berkumis tipis dan berkaca mata itu tersenyum saat sesekali melihat anak gadisnya yang berusia lima tahun.
“Cepet, pak! Ayo cepet! Nanti keretanya selak liwat¹.”
“Memangnya ada kereta lewat jam segini?”
“Ada, pak.”
“Yakin?”
Kuncirnya mengibas-ngibas seiring anggukannya mantap.
“Oalah, makanya kamu minta jalan-jalan jam segini, tibake arep ndelok sepur tho²?” Lelaki itu sebenarnya hapal betul kenapa Sekar tiap Minggu pagi rajin mandi dan sudah dandan rapi, tanpa paksaan dibandingkan hari biasanya. Namun, ia pura-pura saja tidak tahu, supaya bisa mendengar kata-kata menggebu yang keluar dari mulut bocah itu.
Kuncirnya mengibas-ngibas lagi. Mengangguk-angguk.Yakin. “Kalau pagi biasanya kan bapak pergi ke kantor. Lha kalau Minggu pagi libur.”
“Lha keretanya apa nggak libur juga kalau Minggu?”
“Enggak, pak.” Sahutnya mantap.
“Kok kamu tahu?”