1997
Jalanan di sebuah pertokoan pusat kota cukup lengang. Sekar berdiri di dekat sang ibu yang menghadap etalase toko jajan tradisional milik seorang Tionghoa. Sebuah cikar melewati rel kereta yang terhubung hingga ibu kota provinsi di arah Utara sana. Sekar menatap dua ekor sapi besar yang menarik gerobak besar, seorang remaja lelaki yang biasa ia lihat menaiki lori tebu dan melambaikan tangan padanya tiap Minggu ada di dalam bersama tiga orang dewasa. Mereka membawa banyak barang, entah apa dan untuk apa. Lagi-lagi, saat remaja itu mengedarkan pandangan ke sekeliling dan mendapati pandangannya bertubukan dengan Sekar, ia tersenyum dan melambaikan tangan. Sekar membalas dengan hal yang sama.
"Da-da karo sopo, nduk⁸?" kata wanita berambut sebahu itu mengamati anaknya sembari menunggu uang kembalian.
Sekar hanya menunjuk ke arah Cikar yang sudah lalu.
"Oooh.. ada orang angkut barang, atau mungkin pindahan."
Sekar hanya mengangguk.
Mereka beranjak dari toko jajanan di ujung persimpangan itu, menuju ke timur menyeberangi jalan raya. Sekar dan ibunya menapaki trotoar ke arah Pecinan. Di ujung depan jalan terlihat bangunan merah klenteng yang paling kontras dibandingkan rumah dan pertokoan di sekitarnya. Dilihat dari hiasan-hiasan berwarna serupa yang mulai terpasang di kawasan tersebut, pasti akan memasuki sebuah hari perayaan. Sekar tidak paham, tapi seperti tahun sebelumnya, orang tuanya pasti akan mengajaknya ikut berkeliling di sekitar sini, ikut menikmati kemeriahan sama seperti orang-orang Jawa lain yang tinggal di sekeliling kawasan tengah kota itu. Sang bapak tengah berdiri tak jauh dari Pitung kesayangannya, menunggu mereka sedari tadi yang tengah berbelanja. Seorang pria keturunan Jawa-Tionghoa berpakaian rapi sedang berbincang akrab dengan Ibrahim sesekali tertawa.
Mereka menoleh ke arah pasangan ibu anak itu. Sekar dan ibunya berjalan mendekat. Ibu Sekar mengangguk dan tersenyum sopan.
"Mau sembahyang, ko?"
"Iya. Wah, Sekar sudah besar kamu." Lelaki itu memperhatikan Sekar gemas. Terakhir kali ia melihat Sekar saat gadis kecil itu masih usia setahun.
Sekar bingung. Asing dengan pria itu.
"Ini teman Bapak. Koh Randi. Sekar suka kan dengan kerupuk yang biasa ibuk goreng di rumah? Nah, itu yang bikin kerupuknya Koh Randi. Dia punya pabrik kerupuk. Nah, sekarang dia mau beribadah ke Klenteng.”
Sekar hanya manggut-manggut saja.