Sekar yang Mekar di Kanvas itu

Inggita Hardaningtyas
Chapter #3

3

2003

Bagi masyarakat biasa, yang isi kantongnya juga biasa-biasa saja, alun-alun adalah alternatif utama setiap akhir pekan. Kabupaten S menyediakan hiburan rakyat di sana. Cukup dengan lima ribu rupiah, tersaji nasi soto ayam panas semangkok yang sedia melibas keroncong perut. Dengan harga yang tak jauh berbeda, bisa putar keliling pusat kota menaiki delman. Belum lagi, pasar rakyat yang murah meriah, menjajakan aneka cemilan, mainan anak, pakaian, pajangan, dan aksesoris. Sekar dan keluarganya adalah satu dari sekian ratusan orang yang gemar memilih menghabiskan malam minggu di sana.

Gadis itu mampir di warung tenda soto ayam dan duduk tak jauh-jauh dari bapak, ibuk, dan adik lelakinya. Setelah menikmati soto ayam favorit yang gerobaknya biasa mangkal di seberang sekolahnya, tepat di trotoar utara alun-alun, Sekar dan keluarganya duduk-duduk di area rerumputan alun-alun. Ia mengamati berbagai rasi bintang, mengingat-ngingat nama dan artinya sesuai dengan buku RPAL yang ia pelajari di sekolah, ada waluku, kalajengking, biduk, dan layang-layang. Kalau dipikir-pikir, ia punya sebersit cita-cita jadi angkasawan, tapi kalau sudah begitu mana bisa sewaktu-waktu ia kongkow di alun-alun begini dengan keluarganya. Sekar ingin bisa berkelana, tapi ia juga ingin sewaktu-waktu bisa makan soto ayam bersama bapak dan ibuknya.

"Kamu mau beli apa?" tawar bapaknya tiba-tiba.

Sekar bingung mau jawab apa. Tidak biasanya sang bapak menawari beli ini itu, lagi pula ia juga tak banyak menuntut, toh kalau ingin beli suatu hal ia biasa nabung uang jajan dan uang sangu lebaran dulu. Paling-paling ia pingin beli koleksi kaset album band musik favoritnya, tapi mana ada di alun-alun begini, ada pun pasti bukan ori.

"Sekar kan sukanya beli kaset musik, pak," sahut sang ibuk. "Mana ada di sini. Dia suka beli tiap sangu lebaran terkumpul, waktu perjalanan pulang mudik, setiap kita mampir di kota Madiun beli oleh-oleh. Anak ini diam-diam suka melipir ke toko kaset samping toko oleh-oleh."

"He-eh," jawab gadis itu mengiyakan.

"Kapan selesainya beli kaset tho, nduk... mbok yo tuku barang ki sing apik, buku misale.⁹ Bapak sama ibuk kan dari kamu kecil sudah biasa ajak kamu ke toko buku, biar kamu suka buku."

"Kaset juga bagus, pak. Kalau buku libur dulu. Nanti ada saatnya seneng lagi."

Sang bapak hanya berdecak.

Di tahun-tahun akhir sekolah dasarnya ini, pas dengan ramai-ramainya acara MTV. Kalau waktu nonton TV tiba, Sekar biasa duduk hikmat menghadap layar yang menayangkan acara musik itu. Meski hanya tinggal di kota kecil, Sekar melek selera musik. Meski begitu, tetap ia tak pernah absen ngaji sore hari di rumah TPQ. Ia pegang teguh omongan si mbah, kalau dunia akhirat harus diusahakan seimbang, sudah puber boleh senang ini itu, tapi sembahyang dan mengaji wajib dilaksanakan tertib.

"Jalan lagi saja yuk!" Ajak ibuknya. "Mumpung bapak gajian, ibuk pingin beli daster baru."

Sang bapak hanya tersenyum.

"Kalau begitu Sekar pingin lampu hiasan untuk meja di kamar. Kayak yang di sana itu lho, pak." Ia menunjuk ke dekat jalan masuk alun-alun, ke arah laki-laki yang menjajakan lampu-lampu hiasan yang sedang tren di kalangan anak-anak.

"Sudah mulai suka menghias kamar sendiri tho..." timpal sang bapak sembari mengikuti langkah anak gadisnya itu.

"Anakmu sudah mulai remaja, pak." Ibuk pun tersenyum. "Buat adik, belikan kaos baru ya, Pak."

Anak lelaki kelas 2 SD itu menurut saja sambil asyik memainkan yoyo.

Lihat selengkapnya