Tangis wanita yang ada di bilik kamar depan membuat prihatin Sudana Surendra. Betapa tidak, wanita yang tak lain adalah bibinya itu baru selang sehari mengalami musibah. Kios sayur miliknya sudah amburadul, atapnya jebol ambruk, belum lagi dagangannya yang porak-poranda. Rupanya Tuhan menakdirkan si puting beliung berlabuh ke arah pasar kecamatan. Bik Tinah, begitu biasa Rendra panggil, masih menangisi nasibnya yang hanya bisa lari menyelamatkan diri sembari mendekap tas berisi uang dagangannya. Belum semua dagangan habis dan bisa balik modal, tahu-tahu berantakan semuanya. Tapi, Rendra masih bersyukur, bibiknya itu tak mengalami hal serius seperti luka-luka atau terseret angin.
“Bik Tin mau toron²⁰ saja?”
“Tak lah, cong²¹,” jawab wanita itu lugas. “Kamu tak tengok mbokmu dulu? Kenapa malah kemari?”
“Tengok mbok gampang. Waktu paman bilang bik Tin kena musibah, aku pilih kemari dulu.” Lelaki itu masuk dan duduk di bibir ranjang. “Bik, patenang²². Keponakanmu ini ada simpanan. Bisa bik Tin pakai dulu untuk dagang lagi.”
Bik Tinah menolak, tetapi Rendra memaksa. Bagi lelaki itu, uang yang diam dan tidak digunakan untuk hal baik sama saja tak bermanfaat. Lagi pula ia masih lajang, tidak ada tanggungan anak dan istri. Sementara, untuk mbuknya di pulau M masih sanggup ia kirimi tiap bulan. Selepas singgah sebentar menengok bibik satu-satunya itu, Rendra berkeliling kabupaten S dengan mengendarai motornya.
Pikirannya berkelana, menapak tilas ke sana kemari di sekitar tahun yang bikin jumpalitan. Baginya, hidup adalah perjalanan. Sebelum sampai di titik akhir perjalanan, tidak akan berguna apapun itu jika tidak dimanfaatkan untuk memberi kebahagiaan untuk orang-orang di sekelilingnya. Di kabupaten S ini, saat masa SMP hingga SMA tiap kali musim liburan, ia singgah dan mengikuti sang abah yang kala itu jadi mandor di sebuah perkebunan tebu. Ia juga tak segan singgah di kota K yang berjarak tiga jam lamanya dari kabupaten S, hanya untuk ikut berdagang pakaian dengan sang paman. Pada akhirnya saat di akhir-akhir kuliah sesekali kembali ke kabupaten S saat lapak pamannya pindah ke alun-alun kota tersebut. Ia lakukan agar terus mendapat tambahan uang saku sembari bolak-balik ke jantung provinsi, di Kota S, saat menimba ilmu di jurusan seni rupa.
Saat itu abahnya sudah tak lagi bekerja merantau, mboknya sudah cukup sepuh. Tahun pertama kuliah, Rendra hanya bisa numpang di rumah kakaknya yang telah berkeluarga dan nyambi jadi karyawan toko. Lalu lambat laun saat memasuki semester pertengahan kuliah, ia memilih tidur di sekertariat himpunan, tak begitu peduli akan hal-hal duniawi seakan seorang sufi, padahal ia hanya seorang mahasiswa tanpa tempat tinggal dan seminggu sekali menjelma jadi guru les di sebuah sanggar lukis hanya untuk memenuhi duit rokok, kopi, dan indomie.
Hidupnya naik turun, masa kuliahnya penuh uji coba, begitulah baginya entah pandangan orang lain. Mungkin kalau saja sang abah masih mandor di perkebunan tebu di Kabupaten S dan masih pula nyambi berdagang, ia punya sangu cukup sebagai mahasiswa rantauan. Tapi, sebagai anak bontot, ia seperti kehabisan jatah. Di saat abahnya pensiun, sementara para kakaknya masih merangkak-rangkak, ia kukuh memilih daftar kuliah. Ia bersyukur menjadi seorang lelaki, sebab pikirnya, jika ia seorang perempuan dan saat itu harus tidur luntang-luntung, maka apa kata orang-orang yang masih begitu memegang unggah-ungguh dan nilai moral. Tapi sekali lagi, itu sekedar pandangannya yang sepertinya akan diprotes oleh geng feminis, perspektif orang bisa jadi sama dengannya, pun tidak, tak masalah.