Sekarang Aku Bisa Melihat Mereka

STORYIMNIDA
Chapter #3

3

"Ar ..."

Mama mengetuk pintu kamarku dengan pelan. Ini sekian kalinya mama mengetuk. Sekarang pintu kamarku sudah tidak kukunci lagi seperti beberapa jam yang lalu.

Aku tau kondisiku membuat keluargaku termasuk mama, sangat khawatir. Mama terus memintaku keluar kamar dari tadi pagi. Papa yang biasanya bekerja pun memilih cuti berharap anaknya ini bisa punya semangat hidup lagi seperti dulu.

Tapi tetap saja aku seharian mengurung diri di kamar. Tidak makan, tidak minum. Aku hanya menatap keluar jendela, hanya melihat langit atau memilih tidur saja di sini. Dengan tertidur mataku sepenuhnya tertutup dan itu tandanya sementara aku tidak melihat mereka lagi.

Terlebih malam hari seperti ini, ah! Aku benci malam. Aku semakin ketakutan saat malam hari.

Jadi itu alasan kenapa akhirnya aku buka kunci kamarku pukul sembilan malam. Jaga-jaga sosok menakutkan itu datang lagi. Jadi aku tinggal lari meninggalkan kamarku jika sosok itu lagi-lagi memunculkan wujudnya.

"Akhirnya kamu tidak mengunci pintu kamarmu,"

Ucap Papa yang berjalan lebih dulu dari mama menghampiriku. Ia duduk di sampingku, di ujung kasur tempatku sekarang berbaring.

"Makan dulu, sayang."

Mama sudah membawa nampan yang berisi nasi beserta lauk-pauknya. Aku meneguk ludahku. Jujur saja aku lapar. Tapi entah kenapa malas untuk makan.

"Makan, Ar. Setelah makan kita ke rumah sakit."

"Rumah sakit?"

Aku menoleh bertanya pada Papa. Siapa yang sakit?

"Iya, Kita harus ke rumah sakit. Papa sudah tidak tahan lihat kondisi kamu seperti ini. Papa dan Mama gak mau kamu... jiwamu..."

Ucapan Papa terhenti saat Mama menggenggam erat lengan Papa seolah jangan membicarakan ini di depanku.

Sebentar... apa menurut Papa aku gila? Oke, ini bukan hanya sekali Papa mengiraku seperti itu.

"Papa pikir aku gila?"

Papa hanya diam. Ia hanya membetulkan kacamata putihnya yang merosot.

"Aku tidak gila! Yang aku ucapkan benar! Aku tidak berhalusinasi. Aku melihat mereka !"

Ucapku berteriak. Aku tau ini tidak sopan. Tapi emosiku tidak bisa kutahan lagi. Semenjak peristiwa menakutkan yang terus aku alami, Papa mengiraku sudah berhalusinasi, hilang akal dan segala argumentasinya yang membuatku semakin frustasi.

Tangan Mama terus mengelus lenganku, ia seolah-olah memberiku kode untuk bisa menahan emosiku.

"Lupakan tentang rumah sakit. Tapi kamu harus kembali sekolah. Mama gak mau kamu bolos lagi seperti sekarang, sudah dua hari kamu tidak masuk."

Mama kembali mengelus lenganku. Tatapan hangat dan senyuman Mama berhasil menenangkan emosiku.

Papa berdehem dan bangkit dari kasur. "Iya, Lupakan yang Papa katakan tadi. Yang penting besok kamu harus sekolah."

Papa meninggalkanku tanpa berbicara lagi. Ia sudah hilang di balik pintu dan Mama kini mendekat ke arahku dan memelukku erat.

Aku yang biasanya menolak di peluk Mama---karna malu sudah besar---kini membiarkan tubuhnya memelukku yang perlahan membuat diriku terasa lebih lega.

"Mama gak mau kamu putus sekolah karna masalah ini. Mama tau, pasti ini berat bagimu. Tapi hidup akan semakin berat jika kamu lari dari masalah, dan hidup akan lebih lega ketika kamu berani melewati masalah itu, karna masalah itu kamu kelak akan jadi pribadi yang lebih baik."

Petuah panjang lebar Mama terngiang di telingaku bersama angin malam yang berhembus cukup kencang.

"Kamu jangan lupa makan."

Mama menunjuk nampan di atas meja belajarku, nampan yang tadi mama letakkan sebelum ia memelukku.

"Atau kamu mau Mama suapin?"

Mama tersenyum jail padaku. Mama tau itu adalah hal yang paling tidak aku suka.

***

Akhirnya aku kembali ke sekolah. Tatapan dan bisikan menyambutku saat kembali ke kelasku. Tempat dudukku yang dulu selalu nyaman kududuki kini berubah jadi kursi panas.

Ya! Karna semua teman sekelas menatapku dengan tatapan aneh, ada yang ketakutan melihatku kembali dan tatapan lain-lainnya yang malas sekali kusebutkan satu-satu.

Aku sudah tidak peduli lagi. Bahkan semalaman aku juga tidak peduli aku punya teman atau tidak. Kupikir teman yang baik adalah teman yang selalu ada apapun kondisi kita.

Mereka semua yang dulu aku anggap teman kini menghindariku karna aku bisa melihat mereka. Itu tandanya mereka bukan teman baik. Aku tidak mau mempusingkan hidupku. Dari dulu aku selalu menyederhanakan hidup tidak mau bikin pusing.

Kulirik jam dinding kelas yang berada di atas papan tulis. Lima belas menit lagi bel masuk berbunyi. Aku mengeluarkan komikku dari tas, mulai membacanya walaupun aku tadi sempat melihat sosok-sosok itu muncul di kelas.

Ada yang ikut bergabung di meja Leta. Kalau mereka tau ada yang sedang bergabung di kelompok gosip mereka, perempuan berambut panjang yang tepat di samping Leta. Aku yakin pasti kejadiannya seperti tiga hari yang lalu sebelum aku memutuskan tidak sekolah.

Ada juga sosok lainnya yang entah kenapa sekarang aku sudah agak terbiasa. Dan saat mereka menatapku dengan tatapan seram yang kemarin-kemarin membuatku histeris, kini aku berhasil menghindarinya dan pura-pura saja tidak melihat.

"Balik lagi lo?"

Lihat selengkapnya