"Kala tunggu!"
Aku berlari sepanjang koridor mengejar Kala yang berjalan cepat menuju kelas. Selama mengejar Kala, teman-teman sekolahku melirikku dengan tatapan-tatapan seperti biasa. Aku yang biasanya kesal dengan tatapan itu sekarang mulai tidak peduli lagi.
"Kenapa kamu pergi? Bahkan kamu belum makan bekalmu--eh? Mana kotak bekalmu?"
Aku melirik kedua tangan Kala yang kosong. Tidak membawa apa-apa.
"Kotak bekal kamu dimana? Kamu buang?"
"Mungkin..."
Kenapa sih dia selalu menjawab mungkin. Jawaban itu sangat ambigu.
"Kala, kamu marah?"
"Untuk apa aku marah?"
"Terus, kenapa kamu meninggalkanku di kantin?"
"Bergabunglah kembali dengan teman-temanmu."
"Sudah kubilang kan, mereka yang menjauhiku!"
Aku berteriak ke arah Kala. Kala terlihat kaget dengan teriakanku yang cukup kencang. Orang-orang yang berada di luar kelas juga mengintip ke dalam kelas karna aku berteriak.
"Tidak ada apa-apa!" Ucapku pada seseorang yang mengintip itu.
Mataku beralih ke arah Kala lagi tapi ia sudah duduk di bangkunya dan seperti biasa menunduk.
Aku menghela napas jengkel. Aku memilih duduk di bangkuku dan mengeluarkan komik dari tasku. Aku mulai membacanya dan mengabaikan Kala di belakang.
***
"Ar?"
Aku menoleh ke arah Galih, Abel, Reno, dan Boim. Mereka mendekat ke tempat dudukku setelah bel pulang berbunyi.
"Pulang bareng, yuk!"
Aku mengerutkan dahi bingung menatap mereka berempat yang tiba-tiba saja mendekatiku lagi setelah terang-terangan tidak mau berteman denganku.
"Maaf yang kemarin..."
"Mungkin kita udah keterlaluan. Gak seharusnya kayak kemarin."
Abel meneruskan ucapan Galih yang menggantung.
"Tapi, lo jangan tiba-tiba bilang kalau makhluk halus itu ada di samping gue kayak waktu itu ya... sumpah! Gue jadi parno."
Boim menggidik ngeri sendiri yang diiringi anggukan Reno di sampingnya.
Aku diam tidak menjawab mereka. Kulirik bangku Kala sudah kosong. Cewek itu sudah keluar lebih dulu.
"Oke," ucapku singkat lalu aku mengikuti arah langkah Galih, Boim, Reno dan juga Abel keluar kelas.
Di koridor aku lebih banyak diam. Mereka berempat terkadang bercanda tapi aku jadi canggung berada di tengah-tengah mereka. Tidak seperti dulu sebelum mereka menjauh, aku biasanya akan tertawa lepas dengan mereka berempat.
Kalian juga pernahkan merasakan seperti ini? Merasa canggung dengan teman yang dulu sangat akrab.
Kulirik di depan, Kala terlihat dari sini. Ia berjalan sendirian. Tidak punya teman untuk mengobrol dan tidak ada yang menyapanya. Ia menunduk seperti biasa. Melihatnya seperti itu aku merasa sedih. Karna aku tau perasaannya bagaimana di perlakukan seperti itu.
"Gue duluan ya, gue baru inget ada janji sama teman,"
Ucapku tersenyum canggung ke arah mereka berempat yang langsung memberhentikan acara tawa mereka.
"Kala!"
Aku berteriak. Mereka berempat melirik ke arah seseorang yang kupanggil.
"Sorry, gue duluan!"
Aku berlari mengejar Kala. Setelah di dekatnya aku menyamai langkahku dengan Kala.
"Pulang bareng, yuk!"
"Boleh,"
Ucapnya, tidak kusangka ia mau pulang bersama denganku. Senyumku merekah. Lebih baik aku pulang dengan Kala. Pulang dengan Galih, Boim, Reno dan Abel malah membuatku semakin sedih karna benar-benar tidak dianggap meskipun berjalan bersama-sama.
"Jadi rumahmu dimana?"
Tanyaku setelah sudah menjauh dari gedung sekolah. Sekarang kami berjalan di trotoar.
"Jauh dari sekolah."
"Mau ku antar?"
"Tidak usah. Merepotkanmu."
"Tidak apa-apa, sekalian olahraga."
Kala hanya terdiam tidak menanggapiku berbicara lagi.
"Kemarin kamu sudah pergi saja, padahal aku belum selesai berbicara."
"Yang mana?"
"Kemarin saat ada Tanteku."
"Oh itu... iya, maaf."
"Kapan-kapan kamu harus main ke rumahku. Masakan Mamaku enak, kamu harus coba."
"Tapi aku tidak yakin Mamamu akan senang kamu berteman denganku."
"Kenapa memang? Pasti dia senang."
Kala menggeleng, "Tidak akan. Mamamu akan meminta kamu menjauhiku sama seperti Mika."