Sudah dua minggu sejak mengenal Kala aku kembali bersemangat lagi untuk pergi ke sekolah. Kala sekarang berjalan di sampingku. Kita berdua berangkat bersama.
Aku sempat kaget saat dia berdiri di depan rumahku. Ia tidak memanggilku, ia hanya berdiri di depan pagar pandangannya seperti biasa menunduk.
Aku tau, Kala pasti malu. Cewek ini benar-benar pemalu.
"Lain kali kalau mau pergi bersama, beritau dulu."
"Lewat apa?"
"Pesanlah, La."
Aku terkekeh gemas. Ia masih saja menunduk.
"Aku, kan sudah bilang, aku sudah tidak pakai teleponku lagi."
"Kenapa memang?"
"Tidak bisa."
Sebetulnya aku penasaran kenapa. Tapi kuurungkan, aku tidak mau mendesaknya.
"Kala, kamu sudah sarapan?"
"Belum."
"Sarapan dulu, yuk?"
"Kamu belum?"
"Belum. Beli bubur di sana, yuk! Enak loh. Tenang aku yang traktir."
"Tidak usah. Kamu saja."
"Yah! Yasudah tidak jadi."
"Kenapa? Kamu, kan belum sarapan."
"Kalau kamu tidak mau masa aku makan sendirian nanti."
"Tidak apa-apa. Aku bisa menunggumu."
"Tidak enak. Kita langsung ke sekolah saja!"
Kala mengangguk. Sepanjang perjalanan aku bercerita panjang kepada Kala. Tentang aku yang suka baca komik dan ternyata Kala juga dulu sangat menyukai komik tapi sekarang sudah tidak pernah baca lagi.
"Kenapa sudah tidak baca lagi? Karna sibuk?"
"Mungkin..."
Lagi-lagi menjawab mungkin dan ia menjawab sambil tersenyum. Aku mengalihkan pembicaraanku ke arah yang lain. Aku mulai bercerita tentang masa-masaku dulu tidak percaya keberadaan makhluk halus dan sekarang jadi percaya karna melihat.
Aku ceritakan juga bahwa aku sempat frustasi karna kemampuan ini. Ini benar-benar mengangguku. Tapi semakin hari aku terbiasa. Bahkan tadi aku melihat di jalanan sosok yang menakutkan. Badannya penuh darah sambil memegang kepalanya yang terpisah dari tubuhnya
"Kamu melihat itu?"
Aku menunjuk dengan daguku apa yang kumaksud lalu Kala mengangguk.
"Apa mungkin korban kecelakaan di jalan ini, ya, La?"
"Mungkin..."
"Kebiasaan!"
"Apa?"
"Kamu."
"Aku?"
"Selalu bilang 'mungkin'."
Kala tersenyum. Ia selalu tersenyum tidak pernah tertawa. Suatu hari nanti aku ingin Kala tertawa lepas.
***
Hari ini ulangan Bahasa Jepang. Pelajaran favoriteku. Kulirik Kala ia tersenyum ke arahku dan kubalas senyumannya. Saat aku berbalik menghadap ke depan, ku lihat Mika menatapku tidak suka.
Sorotan matanya memandangku seolah mengatakan, "Dengarkan ucapanku waktu itu."
Setelah Sensei memberikan kertas ulangan secara estafet. Semua siswa dan siswi diam. Sensei Ina terus menatap ke semua murid-murid kelas ini, memantau kalau-kalau ada yang mencontek.
Boim yang ketauan sedang mencontek Jihan langsung kena tegur Sensei Ina. Boim diam-diam berdecak sebal karna ketauan.
Suasana kelas yang biasa gaduh jadi sunyi senyap. Kulirik Kala di belakang. Ia tidak mengerjakan ulangan itu. Sebentar... kenapa kertas ulangannya tidak ada? Apa mereka tidak memberikan kertas itu kepada Kala?
"Arsa Renaldy? Kenapa nengok ke belakang terus?"
"Ah? Tidak Sensei."
"Kerjakan ulanganmu!"
Aku mengangguk. Lalu aku kembali mengerjakan kertas ulangan di atas meja. Meskipun aku masih bertanya-tanya kenapa tidak ada kertas ulangan di meja Kala, aku harus fokus mengerjakan soal ulangan ini.
Suara telepon yang berdering terngiang, kulihat sensei menerima telepon dan berjalan cepat ke luar kelas.
Sesaat Sensei pergi, semua teman sekelasku mulai mencontek, bekerja sama mengerjakan ulangan seolah ini tugas kelompok dan segala macam hal yang sebetulnya jelas-jelas tidak boleh.
Kulirik Kala ia menatap ke kolong meja. Apa dia menaruh kertas ulangannya di meja? Eh? Untuk apa? Tidak mungkin, kan? Atau mungkin ia menyimpan contekan di sana?
"Tsutt!"
Kulirik Mika memanggilku dengan suara khas murid ketika diam-diam meminta contekan.
"Pikir sendiri!"
"Siapa yang mau minta contekan! Gue udah selesai!"
Kulihat Mika bangkit dari kursinya dan menaruh kertas ulangan itu. Lalu ia kembali ke mejanya dan membuang kertas sobekan kecil ke mejaku.
Kubuka kertas sobekan itu, "Gue udah bilang jauhin Kala. Jangan deketin dia! Jangan berteman dengan Kala! Jangan keras kepala, gue akan kasih tau alasannya."
***
Bel istirahat pertama telah berbunyi dan kepalaku terus bertanya-tanya kenapa.
Kenapa Mika bersikeras memintaku menjauhi Kala, kenapa teman sekelas tidak menganggap Kala ada dan kenapa kertas ulangan bahasa Jepang tidak di bagikan ke meja Kala tadi?
"Ka---"