"Oke! Gini aja... gue mau ngomong sama lo sebentar aja. Ini soal surat yang gue kasih tadi. Setelah itu, terserah lo mau balik ke Kala lagi atau gak!"
"Oke! Tapi kali ini lo beneran jelasin semuanya."
Mika mengangguk mantap. Ia terus melihat ke arah lain dan benar-benar menghindari pandangan Kala yang menatapnya tanpa ekspresi.
"Ayo cepat! Sebelum bel masuk berbunyi!"
Mika berjalan lebih dulu menghampiri Leta dan Ajeng yang dari kedua wajah mereka berdua sudah terlihat ingin cepat-cepat pergi dari sini.
"Kala sebentar ya, kamu duluan aja ke kelas."
Kala mengangguk, "Kalau kamu sudah tau alasan Mika dan teman-teman memintamu untuk menjauhiku. Kamu pasti akan mejauhiku, ya?"
Aku terdiam sebentar memandangi Kala yang terus menunduk. Bibirnya yang dulu sudah mulai mengukir senyum kini tidak ada lagi di sana.
"Tidak."
Ucapku tersenyum meyakinkan Kala. "Semua orang memang berbeda. Tidak ada alasan untuk menjauhi seseorang. Sekalipun ia memiliki kesalahan besar tetap saja itu cara yang tidak benar."
"Ar! Cepat!"
Mika menoleh ke arahku dengan sebal. Lalu ia mempercepat langkahnya mengikuti Leta dan Ajeng yang sudah menjauh.
Aku mengangguk mengiyakannya. Lalu kulihat lagi Kala tapi sudah tidak ada di tempat duduk. Samar-samar tadi kudengar sebelum menoleh ke arah Mika. Kala berucap pelan, dan aku mendengarnya.
"Kamu akan menjauhiku karna seharusnya memang begitu."
***
"Cepat apa alasan gue harus menjauhi Kala?"
Tanyaku tanpa basa-basi. Ucapanku tinggi dan semua teman sekelasku yang masih duduk di tempatnya masing-masing menatapku dengan eskpresi yang tidak kumengerti.
"Duduk dulu, bro!"
Boim berdiri menghampiriku, merangkul pundakku untuk kembali duduk di sampingnya.
"Cepat! Gue mau kalian semua jelasin!"
"Oke Ar... tapi gue harap lo benar-benar bisa nerima semua ini."
"Jihan intinya aja! Kenapa gue harus menjauhi Kala? Kenapa kalian melakukan Kala seperti ini?"
"Karna Kala itu---"
"Ar! Mamamu menelpon Ibu tadi. Katanya Papamu kecelakaan."
Aku menoleh ke sumber suara yang baru datang. Bu Fatma. Wali kelasku datang dengan panik.
"Kondisi Papamu sekarang kritis. Kata Ibumu kecelakaan waktu di tempat kerja."
***
Aku berlari menuju kelasku mengambil tas dan segera mencari taksi saat sudah di depan gerbang sekolah.
Sesaat Bu Fatma, wali kelasku memberitau kabar buruk ini. Pikiranku benar-benar kalut. Papa... semoga tidak terjadi hal yang selama ini sering kutakutkan. Ditinggal Papa untuk selamanya.
Aku masuk ke taksi daring yang telah kupesan. Memasukinya dengan tergesa-gesa. Sial! Ada makhluk itu di dalam mobil. Di situasi genting begini makhluk itu malah ada. Aku berusaha senormal mungkin. Aku juga tidak mau sopir taksi tau kalau aku bisa melihat mereka.
Sesampainya di Rumah Sakit. Kulihat mama sedang duduk di depan ruangan yang kutau pasti Papa di dalam sana. Mama menangis dan batinku terasa sakit melihat Mama menangis.
"Ar! Papa..."
Aku memeluk Mama menenangkan. Dalam hati aku terus berdoa semoga Papa cepat siuman dan tidak ada hal buruk yang akan terjadi padanya.
"Ar... kamu tolong tunggu dulu di sini ya... Mama mau mengurus administrasinya dulu."
Aku mengangguk. Mama berjalan menjauhiku tapi isakan tangisnya masih bisa kudengar. Aku menarik napas. Memejamkan mata dan terus berharap semuanya akan baik-baik saja.
Srttttttt....
Seseorang meniupku dari kejauhan. Kulirik seorang anak kecil berkulit sangat pucat terus-menerus menjailiku. Tatapan menakutkan. Tidak ada lucu di wajahnya seperti anak kecil kebanyakan. Sekarang ia berlari-lari ke sudut Rumah Sakit aku terus menatapnya berlari dan kutemukan banyak lagi sosok-sosok menyeramkan di sini.
Aku refleks menunduk. Aku berusaha mengontrol diriku untuk tidak teriak, histeris atau melakukan hal yang membuat diriku di anggap aneh lagi oleh yang lain. Aku pura-pura tidak melihat mereka. Meskipun ini sangat menakutkan dalam situasi yang begitu genting seperti ini.
"Ar?"
Aku kembali mendongakkan kepalaku. Seseorang memanggilku. Aku tau suara siapa itu. Bukan Mama. Tapi ...
"Kala?"
Kala tersenyum tipis. Seperti biasa matanya hampir tidak terlihat oleh poninya apalagi saat dia menunduk seperti ini.
"Sedang apa kamu di sini?"
"Aku?"
"Ya, kamu. Kamu bolos?"
"Mungkin..."
Diam-diam aku menghela napas, "Jangan menjawab itu! Kamu harus kembali ke sekolah, kamu tidak boleh bolos!"
"Untuk apa?"
"Untuk apa? Jelas kamu harus belajar bukan ke sini. Lagipula kenapa kamu di sini?"
"Kamu sendiri?"
"Papaku kritis."
"Papaku juga kritis."
"Benarkah? Jadi kamu ke sini karna mendapatkan berita tidak menyenangkan ini juga dari Bu Fatma?"
"Mungkin..."