"Ar?"
Aku menoleh ke arah orang yang memanggilku. Pemilik suara berat itu menyamai langkahku. Galih, ia tersenyum ramah padaku.
"Kenapa?"
"Baru dateng?"
"Iya," Jawabku singkat.
"Main basket yuk, sambil nunggu bel masuk."
"Sorry, gue lagi males main basket."
Aku mempercepat langkahku menuju kelas. Kurasakan Galih menatapku kecewa atas penolakanku. Aku yakin, dia juga sama seperti Mika, mengira Kala itu bukan manusia.
"Ar..."
Jihan menyapaku di tempat duduknya. Ia sedang mengobrol dengan Leta dan anak perempuan yang lainnya. Sedang bergosip seperti biasa, mungkin. Aku tidak peduli. Tapi setelah aku duduk di bangkuku dan membalas menyapa Jihan dengan acuh tak acuh, Jihan malah menghampiriku. Duduk di bangku depanku.
"Kenapa?"
"Gue denger Papa lo kritis. Gue turut prihatin ya, Ar. Semoga Papa lo cepet sembuh."
"Gak usah basa-basi, lo mau ngomong apa?!"
Aku menatap Jihan yang terkejut dengan ucapanku. Cewek selalu basa-basi jika menginginkan sesuatu, jadi aku sangat malas berbicara dengan Jihan yang malah bertanya tentang Papaku bukan langsung ke maksudnya ia menghampiriku.
"Oke, Ar! Gue cuman mau bilang hal yang kemarin gak sempat gue bilang ke lo."
"Intinya aja, apa alasan lo semua?"
"Kala... dia---"
"Hantu?"
"Eh?"
"Lo juga mau bilang Kala itu hantu, hah? Kala itu bukan hantu. Dia manusia!"
"Hantu?"
Jihan mengerutkan keningnya bingung. Aku juga jadi bingung kenapa ekspresi Jihan seperti itu?