"Ar, lo udah sadar?"
Aku melihat Mika duduk di bangku dekat ranjang tempat sekarang aku berbaring. Aku mengedarkan pandanganku ke sekitar. Ini di UKS.
Aku refleks menoleh ranjang sampingku. Aku masih trauma sebetulnya dengan ruangan UKS ini, karna aku pernah melihat sosok cewek bergaun putih yang dulu berada di samping Galih.
Kali ini ranjang itu tidak terhalang oleh hordeng pembatas. Tapi syukurlah ranjang itu kosong. Tidak ada makhluk menyeramkan seperti dulu.
"Ar?"
Mika kembali memanggilku. Ia mengibas-ngibas tangannya ke arah wajahku. Aku mengerjap dan tersenyum ke arahnya.
"Gue kenapa?"
"Lo lupa?"
"Hm?"
"Ar, tadi lo teriak dan pingsan. Lo liat mereka lagi, ya? Gue pikir lo udah mulai bisa mengontrol diri sekarang."
Penjelasan Mika barusan membuatku mengingat beberapa menit yang lalu sebelum aku merasakan gelap. Tadi Kala menatapku begitu menyeramkan. Tidak ada ekspresi bersahabat seperti saat dulu aku pertama kali bertemu dengannya.
"Atau lo liat Kala?"
Mika menebak dengan tepat dan aku langsung menjawab dengan anggukan.
"Udah gue bilang, kan, kalau ketemu dia lagi pura-pura gak liat."
"Wajahnya berubah menyeramkan. Gak kayak dulu."
"Dari dulu gue selalu liat Kala memang menyeramkan."
"Tapi dulu dia terlihat seperti manusia sama seperti kita. Cuman, wajahnya memang pucat sih..."
"Mungkin dia tidak menampakkan wujud sesungguhnya waktu itu sama lo. Sekarang itulah wujudnya."
Aku terdiam menenangkan diriku. Berusaha melupakan kejadian beberapa menit yang lalu yang berhasil membuat jantungku berdegup sangat kencang.
"Lo jangan takut! Gue akan nemenin lo di sini."
Mika tersenyum padaku. Senyumnya terlihat tulus. Mika yang dari dulu selalu berdebat denganku, selalu tidak pernah bisa akrab denganku. Sekarang baru aku sadari dia ternyata baik.
"Gue tau rasanya jadi lo, Ar. Jadi gue gak akan ninggalin lo. Gue juga udah minta ijin pelajaran selanjutnya gak masuk. Lagian pelajaran Pak Budi, males juga gue, Ar!"
Mika nyengir. Memperlihatkan gigi gingsulnya yang semakin menambah kesan manis di wajahnya.
"Mik, gue masih bingung dengan apa yang udah terjadi."
Mika menghela napas, "Kehidupan memang penuh kebingungan, Ar!"
"Gue serius, Mik!"
"Gue juga serius, Ar!"
"Kenapa waktu itu gue pernah ke rumah Kala dan gue juga bertemu dengan kedua orang tuanya?"
"Susah buat jelasin semuanya. Tapi ya... bisa jadi kedua orang tuanya Kala juga sudah meninggal dan sama seperti Kala."
"Jadi yang kemarin gue temuin juga..."
"Mungkin..."
Mungkin? Ah kata itu! Itu kata yang sering Kala ucapkan. Aku jadi teringat lagi alasan Kala mengatakan kata mungkin.
"Kata mungkin cocok menjadi jawaban saat kamu sebetulnya tidak mau memberitau jawaban yang sebenarnya tapi harus menjawab pertanyaan itu."
Aku ingat pernah bertanya pada Kala tentang, kenapa teman-teman menjauhinya, apa karna dirinya yang bisa melihat makluk halus juga sepertiku makanya mereka menjauhinya. Lalu Kala menjawab mungkin.
Aku juga bertanya padanya tentang bekal makannya yang tidak di makan, Kala juga menjawab mungkin. Lalu kotak bekalnya yang tiba-tiba tidak ada saat aku mengejarnya yang kembali ke kelas. Pikirku ia membuangnya, Kala menjawab mungkin.
Pertanyaan tentang kenapa dia sudah tidak memainkan ponselnya lagi, membaca komik, dan semuanya Kala menjawab mungkin.
Sekarang aku tau jawabannua yang sebenarnya. Kala bukan di jauhi karna bisa melihat makhluk halus seperti diriku tapi karna memang di mata teman-temanku Kala memang tidak ada. Kotak bekalnya yang tidak di sentuh dan tiba-tiba hilang begitu saja karna memang dia hantu. Ponsel yang tidak pernah ia mainkan lagi karna memang dia sudah meninggal. Atau komik yang tidak pernah ia baca lagi bukan karna dia sibuk tapi memang sudah tidak bisa.
Semuanya terjawab. Mungkin... benar. Kata itu mengalihkan jawaban yang sebenarnya dan sekarang aku tau jawabannya. Kala memang makhluk halus. Kenapa aku tidak menyadarinya? Karna saat pertama kali aku melihatnya ia sama sepertiku, sama seperti yang lainnya. Sehingga aku tidak mengira dia bukan manusia.
Aku masih mengingat wajahnay tadi, dia sangat menakutkan, sama seperti makhluk sejenis Kala yang membuatku sekuat tenaga untuk tidak histeris.
"Ar? Lo kenapa ngelamun?"
"Gak... gue cuman masih pusing dengan semua ini."
"Jangan terlalu di pikirin, Ar. Kalau itu bikin lo pusing itu tandanya hal itu jangan lo pikirin."
"Tapi gue masih penasaran. Penjelasan tentang rumah Kala yang kemarin gue datangin tidak seperti yang tadi pagi kita lihat, gimana?"
Mika mengangkat bahu. Lalu ia mengeluarkan ponsel bercase warna biru dari saku bajunya. Ia mulai memainkan ponselnya dan mengabaikan aku yang masih bertanya-tanya di hadapannya.
"Gue lagi ngomong sama lo!"
"Gue gak tau jawabannya!"
"Gimana kalau nanti kita ke rumah Kala lagi?"
"Ngapain? Udah gue bilang jangan terus mendekati dia! Jauhin Kala!"
"Gue cuman pengen tau."
"Lo tau gak? Ada beberapa hal yang memang seharusnya kita gak perlu tau."
"Bagi gue ini hal yang perlu gue tau."
"Keras kepala!"
Aku berdecak dan Mika kembali fokus dengan ponselnya.
"Mik, yang lain tau, kalau lo juga punya kemampuan ini?"
Mika menggeleng. Tanpa menoleh ke arahku. Tatapannya masih fokus melihat layar ponsel yang menyala.
"Gue pikir mereka tau."
"Gue cuman takut, Ar. Gue takut kejadiannya akan sama seperti gue masih SD. Sama seperti lo, di jauhi."
"Tapi yang lainnya juga sekarang udah gak jauhin gue, jadi lo gak perlu takut itu akan terjadi lagi, kan?"
"Ya benar. Tapi tetap aja, Ar. Kadang perasaan takut itu terus menetap meskipun banyak alasan yang membantu kita gak takut lagi."
Aku terdiam. Meskipun Mika masih fokus memainkan ponselnya bisa kulihat dari kedua bola matanya ia menahan tangis.
***
Tadi setelah kembali ke kelas setelah istirahat kedua. Aku tidak melihat Kala lagi. Aku juga jadi tidak mau melihat ke arah belakang lagi. Ini jadi menakutkan. Kala yang dulu terasa menyenangkan kini berubah menyeramkan.
Bahkan kata-kata "Aku menyukaimu, Ar." Sudah malas untuk kuingat lagi.
Selama dua pelajaran setelah istirahat. Guru tidak ada yang menanyakan keberadaan Kala. Jadi memang jelas, selama ini Kala tidak ada. Dia makhluk berbeda alam denganku.
"Ar!"
Mika menghampiriku setelah bel pertanda sekolah berakhir telah berbunyi. Aku memberhentikan langkahku dan menoleh ke arahnya. Kami berdua sudah menjauh dari kelas.
"Pulang bareng yuk? Mau gak?"
"Rumah kita gak se-arah."
"Iya gue tau."